Thursday, August 25, 2011

Wong London ning Jakarta

Cerita ini saya tulis untuk melengkapi tulisan berjudul “wong buntet pesantren ning London”. Rangkaian tulisan unik dari Kang Ghozi, salah satu keluarga Buntet Pesantren yang menetap lama di London.
Adalah Bayu Mujahid, anak kedua Kang Ghozi yang lahir di London ini, sejak 2 Juni kemarin datang Ke Jakarta untuk berlibur selama kurang lebih dua minggu bersama kawan akrabnya, Indra Aditia Putra Santoso  yang ternyata adalah cucu dari Ibu Hj. Mira (82 th)
Pagi-pagi (3/6)  Pak. H. Dhabas menelpon saya dari kantornya di Kostrad, Tanah Kusir, mengajak saya untuk bersilaturahmi ke rumah Ibu. Mira Chasbullah karena katanya di rumahnya itu ada dua remaja yang datang langsung dari London. Satu adalah cucunya sendiri dan yang kedua tidak lain adalah Bayu. Saat berkenalan dengan Ibu Mira, Bayu mengaku kalau ayahya itu berasal dari Buntet Pesantren, Cirebon.
Begitu mendengar pengakuan Bayu, kalau ayahnya dari Buntet, malam itu juga langsung menelpon Pak Dhabas agar pagi-pagi datang ke rumahnya dan mempertemukannya.
Benar saja saat kami datang pagi itu, Nenek sepuh ini menunjukkan rasa senangnya kepada Pak Dhabas dan kepada Bayu karena ternyata Bayu adalah putra dari orang Buntet Pesantren yang juga masih ada hubungan famili dengan Pak Dhabas.
Karenaanya, begitu kami datang, Ibu Mira langsung menyambut kami berdua dan langsung memanggil cucunya dan Bayu. . Pertama kali yang muncul adalah Bayu. Ia menyalami pak Dhabas dan merangkulnya, sebuah salam keakraban. Sementara Cucu Ibu Mira, yang masih seusia Bayu ini pun datang menyambut kami lalu menyalami kami dengan cara lain. Ia menyodorkan dua tanganya, kepalanya direndahkan, selanjutnya kedua tangan itu bersamaan ditempelkan ke dada sekitar satu detik sambil kepalanya memanggut. Cara salaman cukup menggambarkan rasa hormat kepada tamu.
Kegembiraan Ibu Mira ini bukan tanpa alasan. Sebab keakraban keluarga besar H. Chasbullah dengan Pak Dhabas sudah terjalin puluhan tahun yang lalu. Saat pertama kali kang Dhabas menjadi pengurus masjid istiqomah dan membina masyarakat Kav blok A Tanah kusir. Di dalam masjid komplek inilah banyak warga tanah kusir yang kebanyakan adalah pejabat dan pengusaha itu menuntut ilmu agama dengan baik sehingga alhamdulillah banyak yang memiliki integritas dan gairah terhadap praktek-praktek keagamaan.
Dalam sesi obrolannya, kepada dua anak dari London ini, Ibu Mira langsung memperkenalkan Pak Dhabas sebagai gurunya sejak awal mula belajar agama sekitar tahun 1984 hingga sekarang. “Saya alhamdulillah selama satu bulan waktu itu, sudah lancar membaca al quran, saya menangis saat mencoba di tes membaca surat Yasin dan ternyata sudah lancar...” Tutur nenek yang kini rajin membaca al quran tanpa kacamata ini.
Ibu Mira juga menceritakan betapa sayangnya kepada cucunya yang di London ini. Ia sudah 15 kali ke London menemui anaknya, Bapak Iwan yang bekerja di KBRI sana dan tentu saja menemui cucu-cucunya.
“Pak Dhabas, kalau saya ke London menemui anakku tidak lupa bawa al quran dan sengaja membacakan al quran di hadapan mereka. Sebab mereka harus tahu, kalau praktek keagamaan itu di manapun jangan ditinggalkan.” Kisahnya kepada pak Dhabas.
Nenek pengusaha properti ini pun berkali-kali menasehati cucunya ini agar jangan meninggalkan shalat dalam keadaan dingin sekalipun. "Cucu saya yang lain ada yang pernah bertanya bagaimana kalau cuaca dingin, jika berwudu rasanya dingin banget. Maka saya jawab, dingin itu bila di lawan maka pahalanya double. Alhamdulillah, cucuku yang ada di sana kini rajin sekali shalatnya." Katanya.

Salah satu agenda Bayu ke Jakarta seperti ia tuturkan bahwa kedatanganya itu dalam rangka ikut menghadiri perkawinan temanya yang sangat akrab. “Saya sedang libur dan ikut teman saya yang rencananya akan menghadiri perkawinan teman akrab kami”, tutur Bayu dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar. Berbeda dengan temanya yang masih suka mengucapkan “emmm” saat ingin mengucapkan kata-kata bahasa Indonesia. (Emka)

Ibu Mira Pebisnis yang Bersuamikan Orang Shaleh
Kalau mau digali cerita unik dari keluarga Ibu Mira ini sangat banyak. Kesadaran beragama ibu Mira justru baru muncul saat umurnya menginjak 55 tahun sementara suaminya, H. Kabul Chasbullah asal Tegal, Jawa Tengah, justru orang yang sangat istiqomah melaksanakan shalat malam (tahajud) sejak SMP kelas II.
Pernah suatu ketika, kata Ibu Mira,  saya tanya suami, kenapa sih melaksanakan shalat malam dari SMP sampai sekarang, lalu dia bercanda menjawab.. itu kan buat mendapatkan mami, jawabnya. Begitulah keakraban antara suami isteri ini hingga kakek- nenek. Sebuah potret keluarga yang tampak sekali kesejahteraanya dan kebahagiaanya.
Gambaran sebagai pengusaha saat pagi diantar supir ke kantor dan malam hari tetap tekun berdzikir merupakan hal yang sangat jarang ditemui. Seperti dituturkan Pak Dhabas, Pak Kabul Chasbullah, suami Ibu Mira ini, orang yang tekun dan istiqomah berdzikir saat malam hari. Ini merupakan hal yang jarang ditemui, bahkan di kalangan lulusan pesantren sekalipun.
"Saya memiliki suami yang penyabar sekali, tak pernah suamiku ini marah lalu memanggilku dengan kata-kata "kamu" tetapi selalu dengan kata-kata 'mami" dan senantiasa saya itu dimanja olehnya." Tutur Ibu mira mengenang mendiang suaminya yang telah meninggal beberapa tahun lalu.

Janda beranak banyak ini terbilang sukses karena memiliki bisnis pengembangan rumah mewah yang ditujukan kepada orang-orang asing. Satu rumah dibangun, kemudian dikontrakan kepada orang asing. Setelah laku, ia beli tanah lagi, dibangun yg baru dan dkontrakkan lagi, begitu seterusnya, hingga rumahnya di mana-mana. Sebuah bisnis yang simple bagi seorang ibu rumah tangga, namun sangat menguntungkan karena harganya dibandrol dengan standar rumah asing. Sementara suaminya yang taat agama itu, adalah pegawai di Perusahaan Unilever Indonesia.
Awal mula kesadaran beragama Ibu Mira ini lahir dari saat pergi haji pertama kali bersama anaknya yang sekarang tinggal di London. Ada yang hal lucu saat ke Makkah, ia bersama romobonganya saat memasuki penginapan, Ibu Mira ini menjejer baju-baju pesta untuk diletakkan digantungan. Kontan semua orang kaget kenapa yang dibawa baju pesta. "Saya pikir berhaji itu seperti jalan-jalan ke luar negeri, ya saya bawa ini." Jawabnya dengan polos.
Ia mengaku, maklum selam ini ia sering jalan-jalan ke Luar Negeri, namun belum pernah haji. Karenanya, saat teman arisannya di komplek itu menyinggung sedikit tentang kesadaran beragama Ibu Mira ini, langsung saja ia menyanggupi untuk pergi Haji. Untunglah, saat itu arisan dolar yang ia ikuti dapat $3000 dan sisanya oleh anaknya  (Ayah Adit) ditanggung sehingga bisa pergi haji sekeluarga.
Begitu khabar niat haji disampaikan kepada suaminya, Pak Chasbullah langsung berucap "Alhamdulillah" merasa bahagia karena isterinya telah akan "berhijarah" begitu juga anaknya yang lain ikut merasakan kegembiraan menyambut niat baik ibunya ini.
Dari Mekkah inilah kemudian, beliau sangat terkesan dan ingin bisa membaca Al-quran. Karenanya begitu sampai di Tanah Kusir ia langsung mendatangi pak Dhabas untuk belajar Al-Quran, lalu dibimbing intensif hingga akhirnya lancar membaca al-quran ala pesantren (fasikh) selama tiga bulan.Untuk memperlancarnya, ia senantiasa membaca al-quran dengan diawasi oleh suaminya dan juga oleh gurunya.

Muallim Syafi'i Hazami
Salah satu gurunya yang tidak disangka-sangka adalah Muallim Syafi'i Hadzami. Beliau adalah ulama Betawi yang menjadi rujukan para kyai di Jakarta hingga saat ini. Majelis ta'limnya tak terhitung banyaknya. Namun sewaktu Muallim masih hidup, seringkali mampir ke rumah keluarga  ini. Sebaliknya, Ibu Mira dan suaminya bersama satu anak laki-lakinya, Bapak Edi, ikut mengaji ke rumah Muallim untuk dengan suguhan kitab-kitab kuning.
Suatu ketika, mata Ibu Mira terserang  sakit mata yang cukup kronis. Padahal ia tengah gemar sekali belajar al quran dan tentu saja jika matanya menjadi lamur itu, tidak lagi  bisa membaca quran dengan lancar. Parahnya,  oleh dokter divonis harus menjalani operasi katarak.
Karena tidak ingin dioperasi sehubungna pernah operasi besar di matanya, lalu Ibu Mira meminta doa kepada Muallim Syafi'i Hadzami agar diakuatkan. Kemudian beliau dikasih amalan doa yang masih dia ingat dan ibu ini faseh mengucapkan doa ini:  "Ya Latiif ya khobirr ultuf bina fimaa jarot bihil maqodiir, wadabbirna biahsanitadbirrr fii khoirin wa'aafiyatin". Ibu Mira mengucapkan kata-kata itu dengan bahasa arab yang lancar. Menurut pengakuannya, doa ini memberikan efek ketenangan dalam kehidupaannya. Dan hingga kini, mata Ibu Mira masih awas meski umurnya mencapai 70 tahun lebih.
Begitulah sekilas cerita sosok wanita mandiri ini saya tulis.Tidak lain merupakan pembelajaran bagi kita semua, bahwa jika Allah menghendaki perubahan ke arah yang lebih baik, dengan mudahnya. Buah istiqomah, keteguhan dan kesabaran memang sebuah kekuatan yang tidak ada tandingannya. Pantas jika para ulama berkata: Al Istiqomah khoirum min alfi karomah, istiqomah itu lebih ampuh ketimbang karomah.Wallahu a'lam. (Emka)

Pesantren NU Dijamin Tak Terlibat Terorisme

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terpilih pada Muktamar ke-32 di Asrama Haji Sudiang Makassar, Sabtu (27/3), Prof Dr KH Said Aqil Siraj menjamin tidak ada satupun santri di lingkungan yang terlibat kegiatan terorisme. Dari  14.000 lebih pondok pesantren di lingkungan NU, sampai saat ini tidak satupun yang ditemukan terlibat dalam kegiatan terorisme.
Said Aqil Siraj menegaskan hal itu menjawab pertanyaan wartawan sesaat usai terpilih menjadi Ketua Umum PBNU periode 2010-2015. Said didampingi isteri dan rivalnya dalam pemilihan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU Drs. Slamet Effendy Yusuf, menjelaskan maraknya kegiatan dan isu terorisme di tanah air sama sekali tidak ada kaitannya dengan pondok pesantren.
“Sekali lagi saya tegaskan, dijamin tidak ada santri pondok pesantren di lingkungan NU yang terlibat kegiatan terorisme. Karena kegiatan terorisme tidak sesuai dengan paham IslamAhlussunnah wal jamaah
yang dianut oleh warga NU,” kata Said.
Said juga berjanji akan melanjutkan apa-apa yang sudah baik dilakukan oleh pendahulunya, KH Hasyim Muzadi. Terutama hubungan baik dengan dunia internasional, baik melalui hubungan informal maupun melalui konferensi internasional ulama atau ICIS, kata Said.
Pada putaran kedua pemilihan Ketua Umum Tanfidziyah, Said Aqil Siraj memeroleh 294 suara dari 495 suara sah, mengalahkan Slamet Effendi yang mendapatkan suara 201. (arm)
 
View the original article here

Wednesday, August 24, 2011

''TAWASSUL'' MENURUT KACAMATA ULAMA, PART 2

Oleh : K. Tb. Ahmad Rifqi Chowwas

Sedangkan hadits ibn Mas'ud maka diriwayatkan oleh Abu ya'la,althabrany. Keterangan dapat di lihat di Majma' azzawaid oleh Al Hafidz Nuruddin Ali bin Abi bakar Al Haitsamy (juz 10 Hal 132).


TAWASSUL DENGAN PETILASAN NABI SAW:

Bukan hanya kebesaran dan kemuliaan Nabi saw saja yang bisa dijadikan tawassul,namun petilasan ibadah juga barang barang bekas pakai Nabi pun dipakai bertawassul oleh para shahabat seperti keterangan riwayat berikut ini:

1. Permohonan Umar bi khotthob untuk di kubur di samping Rasulillah saw,dan dikabulkannya permohonan tersebut merupakan kegembiraan yang luar biasa bagi beliau bahkan beliau mengatakan: Al Hamdulillah,tidak ada sesuatu yang paling penting selain hal ini. Keinginan beliau dikubur disamping Nabi saw adalah perwujudan dari tabarruk/mencari barokah dan tawassul kepada Allah swt supaya dapat luberan barokah dari Nabi Nya. (lihat kisah tersebut di shahih Bukhary)

2.Ummu Sulaim ra memotong mulut gerabah yang biasa diminum Nabi saw,dan biasa digunakan untuk bertabarruk dan tawassul,Anas bin Malik Ra berkata: Mulut gerabah itu sekarang ada pada kami.(hadits riwayat Atthabrany semua perowinya tsiqot)

3. Asma' binti Abi bakar ra menjaga dan menyimpan jubbah Nabi saw ,dia berkata: aku menyimpannya untuk mengobati orang orang sakit (shahih Muslim juz 3 hal 140)

4. Abdullah bin Umar selalu meneliti tempat shalat Nabi saw spt yg dilakukannya ketika melakukan ibadah haji (lihat shahih Bukhari)

5. Abi Burdah dan Abdullah bin salam bertawassul dan tabarruk dengan meminum dari gelas yang dipakai minum oleh Nabi saw (shahih Bukhari dalam kitab al'itisham bil kitaab wassunnah) Dan masih banyak lagi beberapa perbuatan shahabat yang bertabarruk dan bertawassul dengan peninggalan peninggalan Nabi saw sebagai manifestasi keimanan dan cinta juga pengakuan atas kemuliaan Rasulullah saw di sisi Allah swt.


TAWASSUL DAN AYAT AL QUR'AN:

Ada sebuah ayat al qur'an yg memberi pemahaman kepada kita bahwa Nabi saw itu turut mempunyai otoritas untuk diampuni dan tidaknya seseorang. Hal ini wajar saja,mengingingat beliau seorang yg mulia di hadapan Allah. Orang yg selalu disebut apabila Allah disebut,orang yang di beri amanat untuk mengenalkan Allah kepada makhluq Nya,perhatikan ayat tersebut:


ولو انهم اذ ظلموا انفسهم جاؤك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيم.....


Artinya: kalau seandainya mereka berbuat aniaya(dosa) kemudian mendatangimu,maka mereka memohon ampun kepada Allah dan Rosul memohonkan ampun untuk mereka niscaya mereka akan menemukan Allah saw Maha penerima taubat dan maha penyayang.......(Maha Benar Allah dg seluruh firman Nya).

dalam hal ini al imam Al Hafidz Assyekh Imaduddin ibn Katsir berkata: segolongan Ulama menuturkan sebuah cerita,diantaranya adalah Syaikh Abu Manshur al Shobbagh di dalam kitabnya Al Syamil dari al 'utby dia berkata: ketika aku duduk disamping kuburan Nabi saw,ada seorang arab kampung datang berkata: Assalaamu 'alaika yaa Rasuulallaah......aku mendengar firman Allah :walau annahum.........dst,oleh karena itu aku mendatangimu sbg orang yang memohon ampun dan memohon syafa'at melaluimu kepada Tuhanku kemudian dia mambaca syair:


يا خير من دفنت بالقاع اعظمه# فطاب من طيبهن القاع والاكم
نفسي الفداء لقبر انت ساكنه # فيه العفاف وفيه الجود والكرم.....


Artinya: wahai orang yg terbaik dari jasad yang terkubur di dataran tanah..... Maka dataran dan pegunungan menjadi wangi karena semerbak dataran itu...... Nyawaku menjadi tebusan bagi haribaan yg kau huni.....
Yg di dalamnya terdapat keapikan, kedermawanan dan kemuliaan.... .......kemudian orang tersebut berpaling,lalu aku tertidur dan bermimpi bertemu Nabi saw......beliau berkata : temuilah orang kampung tadi dan berilah dia khabar gembira bahwa Allah swt telah mengampuninya....

kisah ini disebutkan imam Nawawi ra di kitab al idhoh hal 498. Al Hafidz ibnu katsir juga meriwatkan di tafsirnya yg terkenal.....ibnu qudamah dalam al mughni juz 3 hal 490,kasyful qina' kitab fiqh madzhab Hanbaly hal 30 juz 3.


PENUTUP:

Untuk lebih memantapkan hati marilah kita simak sebuah syair yang dilantunkan Sawad bin Qarib ra di depan baginda Nabi saw :


واشهد ان الله لا رب غيره # وانك مامون على كل غائب
وانك ادنى المرسلين وسيلة# الى الله يا ابن الاكرمين الاطايب


Artinya: Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah..... Dan engkau adalah orang yg diamanati hal yang ghaib..... Sungguh engkau adalah dari para utusan yang wasilahnya terdekat..... Kepada Allah....wahai anak orang2 mulia lagi baik....... (diriwatkan oleh al baihaqi di kitab dalail annubuwah,ibn Abd al barr di al isti'ab dan hal ini diiqrari/diakui dan tidak dilarang oleh baginda Nabi saw..... Semoga kita semua mendapat syafa'at Nabi kita di akhirat kelak amien yaa Robbal 'aalamien.....

33;">Literatur:

1. Mafahim yajibu an tushohhah,Al muhaddits Assayid Muhammad al hasany al maliky.

2. Al fajru Al Shadiq.

3. Dhiya'usshuduur.

4,fadhaih al wahhabiyah,syaikh fathi al Azhary.....


View the original article here

PERNYATAAN PARA ULAMA TENTANG ORANG YANG MENETAPKAN TEMPAT BAGI ALLAH SWT

Jumat, 05 November 2010 02:59 Mubarok Hasanuddin Artikel - Hikmah

AQIDAH ASWAJA ALLAH TANPA TEMPAT

Oleh : K. Tb. Ahmad Rivqi Chowwas

Berikut ini adalah adalah pernyataan para ulama Ahlussunnah dalam menetapkan kekufuran orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada pada tempat dan arah, seperti mereka yang menetapkan arah atas bagi-Nya, atau bahwa Dia berada di langit, atau berada di atas arsy, atau mereka yang mengatakan bahwa Allah berada di semua tempat. Berikut nama ulama Ahlussunnah dengan pernyataan mereka di dalam karyanya masing-masing yang kita sebutkan di sini hanya sebagian kecil saja.

Al-Imâm al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi (w 150 H), Imam agung perintis madzhab Hanafi, dalam salah satu karyanya berjudul al-Fiqh al-Absath menuliskan bahwa orang yang berkeyakinan Allah berada di langit telah menjadi kafir. Al-Imâm Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut:
“Barangsiapa berkata: “Saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah ia berada di langit atau berada di bumi?!”, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula telah menjadi kafir orang yang berkata: “Allah berada di atas arsy, dan saya tidak tahu apakah arsy berada di langit atau berada di bumi?!” (al-Fiqh al-Absath, h. 12 (Lihat dalam kumpulan risalah al-Imâm Abu Hanifah yang di-tahqiq oleh al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari).
Pernyataan al-Imâm Abu Hanifah di atas lalu dijelaskan oleh al-Imâm asy-Syaikh al-Izz ibn Abd as-Salam (w 660 H) dalam karyanya berjudul Hall ar-Rumuz sekaligus disepakatinya bahwa orang yang berkata demikian itu telah menjadi kafir, adalah karena orang tersebut telah menetapkan tempat bagi Allah. Al-Imâm al-Izz ibn Abd as-Salam menuliskan:
“Hal itu menjadikan dia kafir karena perkataan demikian memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat, dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka dia adalah seorang Musyabbih (Seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)” (Dikutip oleh asy-Syaikh Mulla Ali al-Qari dalam kitab Syrah al-Fiqh al-Akbar, h. 198).
Pemahaman pernyataan al-Imâm Abu Hanifah di atas sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Imâm al-Izz ibn Abd as-Salam telah dikutip pula oleh asy-Syaikh Mulla Ali al-Qari’ (w 1014 H) dalam karyanya Syarh al-Fiqh al-Akbar sekaligus disetujuinya. Tentang hal ini beliau menuliskan sebagai berikut:
“Tidak diragukan lagi kebenaran apa yang telah dinyatakan oleh al-Izz Ibn Abd as-Salam --dalam memahami maksud perkataan al-Imâm Abu Hanifah--, beliau adalah ulama terkemuka dan sangat terpercaya. Dengan demikian wajib berpegang teguh dengan apa yang telah beliau nyatakan ini” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 198).
Al-Imâm al-Hâfizh al-Faqîh Abu Ja’far ath-Thahawi (w 321 H) dalam risalah akidahnya; al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, yang sangat terkenal sebagai risalah akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, menuliskan sebagai berikut:
“Barangsiapa mensifati Allah dengan satu sifat saja dari sifat-sifat manusia maka orang ini telah menjadi kafir” (Lihat matan al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah).
Salah seorang sufi terkemuka, al-‘Arif Billah al-Imâm Abu al-Qasim al-Qusyairi (w 465 H) dalam karya fenomenalnya berjudul ar-Risalah al-Qusyairiyyah menuliskan sebagai berikut:
“Aku telah mendengar al-Imâm Abu Bakr ibn Furak berkata: Aku telah mendengar Abu Utsman al-Maghribi berkata: Dahulu aku pernah berkeyakinan sedikit tentang adanya arah bagi Allah, namun ketika aku masuk ke kota Baghdad keyakinan itu telah hilang dari hatiku. Lalu aku menulis surat kepada teman-temanku yang berada di Mekah, aku katakan kepada mereka bahwa aku sekarang telah memperbaharui Islamku” (ar-Risalah al-Qusyairiyyah, h. 5).
Teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah al-Imâm Abu al-Mu’ain Maimun ibn Muhammad an-Nasafi al-Hanafi (w 508 H) dalam kitab Tabshirah al-Adillah menuliskan sebagai berikut:
“Allah telah menafikan keserupaan antara Dia sendiri dengan segala apapun dari makhluk-Nya. Dengan demikian pendapat yang menetapkan adanya tempat bagi Allah adalah pendapat yang telah menentang ayat muhkam; yaitu firman-Nya: “Laysa Kamitslihi Syai’” (QS. asy-Syura: 11). Ayat ini sangat jelas pemaknaannya dan tidak dimungkinkan memiliki pemahaman lain (takwil). Dan barangsiapa menentang ayat-ayat al-Qur’an maka ia telah menjadi kafir. Semoga Allah memelihara kita dari kekufuran” (Tabshirah al-Adillah Fi Ushuliddin, j. 1, h. 169).
Asy-Syaikh al-‘Allâmah Zainuddin Ibn Nujaim al-Hanafi (w 970 H) dalam karyanya berjudul al-Bahr ar-Ra-iq Syarh Kanz ad-Daqa-iq berkata:
“Seseorang menjadi kafir karena berkeyakinan adanya tempat bagi Allah. Adapun jika ia berkata “Allah Fi as-Sama’” untuk tujuan meriwayatkan apa yang secara zhahir terdapat dalam beberapa hadits maka ia tidak kafir. Namun bila ia berkata demikian untuk tujuan menetapkan tempat bagi Allah maka ia telah menjadi kafir” (al-Bahr ar-Ra-iq Syarh Kanz ad-Daqa-iq, j. 5, h. 129).
Asy-Syaikh al-‘Allâmah Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad al-Mishri asy-Syafi’i al-Asy’ari (w 974 H) yang lebih dikenal dengan nama Ibn Hajar al-Haitami dalam karyanya berjudul al-Minhaj al-Qawim ‘Ala al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah menuliskan sebagai berikut:
“Ketahuilah bahwa al-Qarafi dan lainnya telah meriwayatkan dari al-Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm Malik, al-Imâm Ahmad dan al-Imâm Abu Hanifah bahwa mereka semua sepakat mengatakan bahwa orang yang menetapkan arah bagi Allah dan mengatakan bahwa Allah adalah benda maka orang tersebut telah menjadi kafir. Mereka semua (para Imam madzhab) tersebut telah benar-benar menyatakan demikian” (al-Minhaj al-Qawim ‘Ala al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah, h. 224).
Dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar yang telah disebutkan di atas, asy-Syaikh Ali Mulla al-Qari menuliskan sebagai berikut:
“Maka barangsiapa yang berbuat zhalim dengan melakukan kedustaan kepada Allah dan mengaku dengan pengakuan-pengakuan yang berisikan penetapan tempat bagi-Nya, atau menetapkan bentuk, atau menetapkan arah; seperti arah depan atau lainnnaya, atau menetapkan jarak, atau semisal ini semua, maka orang tersebut secara pasti telah menjadi kafir” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 215).
Masih dalam kitab yang sama, Syaikh Ali Mulla al-Qari juga menuliskan sebagai berikut:
“Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah tidak mengetahui segala sesuatu sebelum kejadiannya maka orang ini benar-benar telah menjadi kafir, sekalipun orang yang berkata semacam ini dianggap ahli bid’ah saja. Demikian pula orang yang berkata bahwa Allah adalah benda yang memiliki tempat, atau bahwa Allah terikat oleh waktu, atau semacam itu, maka orang ini telah menjadi kafir, karena tidak benar keyakinan iman yang ada pada dirinya” (Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 271-272).
Dalam kitab karya beliau lainnya berjudul Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, Syaikh Ali Mulla al-Qari’ menuliskan sebagai berikut:
“Bahkan mereka semua --ulama Salaf-- dan ulama Khalaf telah menyatakan bahwa orang yang menetapkan adanya arah bagi Allah maka orang ini telah menjadi kafir, sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh al-Iraqi. Beliau (al-Iraqi) berkata: Klaim kafir terhadap orang yang telah menetapkan arah bagi Allah tersebut adalah pernyataan al-Imâm Abu Hanifah, al-Imâm Malik, al-Imâm asy-Syafi’i, al-Imâm al-Asy’ari dan al-Imâm al-Baqillani” (Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, j. 3, h. 300).
Asy-Syaikh al-‘Allâmah Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H) dalam karyanya berjudul Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imâm, sebuah kitab akidah dalam menjelaskan perkataan-perkataan al-Imâm Abu Hanifah, menuliskan sebagai berikut:
“Beliau (al-Imâm Abu Hanifah) berkata: “Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau berada di bumi maka orang ini telah menjadi kafir”. Hal ini karena orang yang berkata demikian telah menetapkan tempat dan arah bagi Allah. Dan setiap sesuatu yang memiliki tempat dan arah maka secara pasti ia adalah sesuatu yang baharu --yang membutuhkan kepada yang menjadikannya pada tempat dan arah tersebut--. Pernyataan semacam itu jelas merupakan cacian bagi Allah. Beliau (al-Imâm Abu Hanifah) berkata: “Demikian pula menjadi kafir orang yang berkata: “Allah berada di atas arsy, namun saya tidak tahu arsy, apakah berada di langit atau berada di bumi”. Hal ini karena orang tersebut telah menetapkan adanya tempat bagi Allah, menetapkan arah, juga menetapkan sesuatu yang nyata-nyata sebagai kekurangan bagi Allah, terlebih orang yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas, atau menfikan keagungan-Nya, atau menafikan Dzat Allah yang suci dari arah dan tempat, atau mengatakan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya. Dalam hal ini terdapat beberapa poin penting: Pertama: Orang yang berkeyakinan bahwa Allah adalah bentuk yang memiliki arah maka orang ini sama saja dengan mengingkari segala sesuatu yang ada kecuali segala sesuatu tersebut dapat diisyarat -dengan arah- secara indrawi. Dengan demikian orang ini sama saja dengan mengingkari Dzat Allah yang maha suci dari menyerupai makhluk-Nya. Oleh karena itu orang semacam ini secara pasti adalah seorang yang telah kafir. Inilah yang diisyaratkan oleh al-Imâm Abu Hanifah dalam perkataannya di atas. Kedua: Pengkafiran terhadap orang yang menetapkan adanya keserupaan dan tempat bagi Allah. Inilah yang diisyaratkan oleh al-Imâm Abu Hanifah dalam perkataannya di atas, dan ini berlaku umum. -Artimya yang menetapkan keserupaan dan tempat apapun bagi Allah maka ia telah menjadi kafir-. Dan ini pula yang telah dipilih oleh al-Imâm al-Asy’ari, sebagaimana dalam kitab an-Nawzdir ia (al-Imâm al-Asy’ari) berkata: “Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah benda maka orang ini tidak mengenal Tuhannya dan ia telah kafir kepada-Nya”. Sebagaimana hal ini juga dijelaskan dalam kitab Syarh al-Irsyad karya Abu al-Qasim al-Anshari” (Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imâm, h. 200).
Asy-Syaikh al-‘Allâmah Abd al-Ghani an-Nabulsi al-Hanafi (w 1143 H) dalam karyanya berjudul Fath ar-Rabbani Wa al-Faydl ar-Rahmani menuliskan sebagai berikut:
“Kufur dalam tinjauan syari’at terbagi kepada tiga bagian. Segala macam bentuk kekufuran kembali kepada tiga macam kufur ini, yaitu at-Tasybîh (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), at-Ta’thil (menafikan Allah atau sifat-sifat-Nya), dan at-Takdzib (mendustakan). Adapun at-Tasybîh adalah keyakinan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya, seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas arsy, atau yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki dua tangan dalam pengertian anggota badan, atau bahwa Allah berbentuk seperti si fulan atau memiliki sifat seperti sifat-sifat si fulan, atau bahwa Allah adalah sinar yang dapat dibayangkan dalam akal, atau bahwa Allah berada di langit, atau barada pada semua arah yang enam atau pada suatu tempat atau arah tertentu dari arah-arah tersebut, atau bahwa Allah berada pada semua tempat, atau bahwa Dia memenuhi langit dan bumi, atau bahwa Allah berada di dalam suatu benda atau dalam seluruh benda, atau berkeyakinan bahwa Allah menyatau dengan suatu benda atau semua benda, atau berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang terpisah dari Allah, semua keyakinan semacam ini adalah keyakinan kufur. Penyebab utamanya adalah karena kebodohan terhadap kewajiban yang telah dibebankan oleh syari’at atasnya” (al-Fath ar-Rabbani Wa al-Faidl ar-Rahmani, h. 124).
Asy-Syaikh al-‘Allâmah Muhammad ibn Illaisy al-Maliki (w 1299 H) dalam menjelaskan perkara-perkara yang dapat menjatuhkan seseorang di dalam kekufuran menuliskan sebagai berikut:
“Contohnya seperti orang yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda atau berkayakinan bahwa Allah berada pada arah. Karena pernyataan semacam ini sama saja dengan menetapkan kebaharuan bagi Allah, dan menjadikan-Nya membutuhkan kepada yang menjadikan-Nya dalam kebaharuan tersebut” (Minah al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, j. 9, h. 206).
Al-‘Allâmah al-Muhaddits al-Faqîh asy-Syaikh Abu al-Mahasin Muhammad al-Qawuqji ath-Tharabulsi al-Hanafi (w 1305 H) dalam risalah akidah berjudul al-I’timad Fi al-I’tiqad menuliskan sebagai berikut: “Barangsiapa berkata:
“Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau berada di bumi”; maka orang ini telah menjadi kafir. -Ini karena ia telah menetapkan tempat bagi Allah pada salah satu dari keduanya-” (al-I’timad Fi al-I’tiqad, h. 5).
Dalam kitab al-Fatawa al-Hindiyyah, sebuah kitab yang memuat berbagai fatwa dari para ulama Ahlussunnah terkemuka di daratan India, tertulis sebagai berikut:
“Seseorang menjadi kafir karena menetapkan tempat bagi Allah. Jika ia berkata Allah Fi as-Sama’ untuk tujuan meriwayatkan lafazh zhahir dari beberapa berita (hadits) yang datang maka ia tidak menjadi kafir. Namun bila ia berkata demikian untuk tujuan menetapkan bahwa Allah berada di langit maka orang ini menjadi kafir” (al-Fatawa al-Hindiyyah, j. 2, h. 259).
Asy-Syaikh Mahmud ibn Muhammad ibn Ahmad Khaththab as-Subki al-Mishri (w 1352 H) dalam kitab karyanya berjudul Ithaf al-Ka-inat Bi Bayan Madzhab as-Salaf Wa al-Khalaf Fi al-Mutasyâbihât, menuliskan sebagai berikut:
“Telah berkata kepadaku sebagian orang yang menginginkan penjelasan tentang dasar-dasar akidah agama dan ingin berpijak di atas para ulama Salaf dan ulama Khalaf dalam memahami teks-teks Mutasyâbihât, mereka berkata: Bagaimana pendapat para ulama terkemuka tentang hukum orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada pada arah, atau bahwa Dia duduk satu tempat tertentu di atas arsy, lalu ia berkata: Ini adalah akidah salaf, kita harus berpegang teguh dengan keyakinan ini. Ia juga berkata: Barangsiapa tidak berkeyakinan Allah di atas arsy maka ia telah menjadi kafir. Ia mengambil dalil untuk itu dengan firman Allah: “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa” (QS. Thaha: 5) dan firman-Nya: “A-amintum Man Fi as-Sama’ (QS. al-Mulk: 16). Orang yang berkeyakinan semacam ini benar atau batil? Dan jika keyakinannya tersebut batil, apakah seluruh amalannya juga batil, seperti shalat, puasa, dan lain sebagainya dari segala amalan-amalan keagamaan? Apakah pula menjadi tertolak pasangannya (suami atau istrinya)? Apakah jika ia mati dalam keyakinannya ini dan tidak bertaubat dari padanya, ia tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dimakamkan di pemakaman kaum muslimin? Kemudian seorang yang membenarkan keyakinan orang semacam itu, apakah ia juga telah menjadi kafir? Jawaban yang aku tuliskan adalah sebagai berikut: Bismillah ar-Rahman ar-Rahim. Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Keyakinan semacam ini adalah keyakinan batil, dan hukum orang yang berkeyakinan demikian adalah kafir, sebagaimana hal ini telah menjadi Ijma’ (konsensus) ulama terkemuka. Dalil akal di atas itu adalah bahwa Allah maha Qadim; tidak memiliki permulaan, ada sebelum segala makhluk, dan bahwa Allah tidak menyerupai segala makhluk yang baharu tersebut (Mukhalafah Li al-Hawadits). Dan dalil tekstual di atas itu adalah firman Allah: “Laisa Kamitaslihi Syai’” (QS. asy-Syura: 11). Dengan demikian orang yang berkayakinan bahwa Allah berada pada suatu tempat, atau menempel dengannya, atau menempel dengan sesuatu dari makhluk-Nya seperti arsy, al-kursy, langit, bumi dan lainnya maka orang semacam ini secara pasti telah menjadi kafir. Dan seluruh amalannya menjadi sia-sia, baik dari shalat, puasa, haji dan lainnya. Demikian pula pasangannya (suami atau istrinya) menjadi tertolak. Ia wajib segera bertaubat dengan masuk Islam kembali -dan melepaskan keyakinannnya tersebut-. Jika ia mati dalam keyakinannya ini maka ia tidak boleh dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dimakamkan dipemakaman kaum muslimin. Termasuk menjadi kafir dalam hal ini adalah orang yang membenarkan keyakinan tersebut. -Semoga Allah memelihara kita dari pada itu semua-. Adapun pernyataannya bahwa setiap orang wajib berkeyakinan semacam ini, dan bahwa siapapun yang tidak berkeyakinan demikian adalah sebagai seorang kafir, maka itu adalah kedustaan belaka, dan sesungguhnya justru penyataannya yang merupakan kekufuran” (Ithaf al-Ka’inat, h. 3-4).
Al-Muhaddits al-‘Allâmah asy-Syaikh Muhammad Zahid al-Kautsari (w 1371 H), Wakil perkumpulan para ulama Islam pada masa Khilafah Utsmaniyyah Turki menuliskan:
“Perkataan yang menetapkan bahwa Allah berada pada tempat dan arah adalah perkataan kufur. Ini sebagaimana dinyatakan oleh para Imam madzhab yang empat, seperti yang telah disebutkan oleh al-Iraqi (dari para Imam madzhab tersebut) dalam kitab Syarh al-Misykat yang telah ditulis oleh asy-Syaikh Ali Mulla al-Qari” (Maqalat al-Kautsari, h. 321).
 

View the original article here

Tuesday, August 23, 2011

8 Pengertian Cinta Dalam Al-Qur'an

Oleh : Mariyah Ulfah Pramesywari

Dalam Qur’an cinta memiliki 8 pengertian berikut ini penjelasannya:

1. Cinta Mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu, membara dan “nggemesi”. Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, maunya selalu berdua, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Ia ingin memonopoli cintanya, dan hampir tak bisa berfikir lain.

2. Cinta Rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut, siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding terhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sang kekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya. Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari itu maka dalam al Qur’an , kerabat disebut al arham, dzawi al arham , yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri, yang berasal dari garba kasih sayang ibu, disebut rahim (dari kata rahmah). Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim. Selanjutnya diantara orang-orang yang memiliki hubungan darah dianjurkan untuk selalu ber silaturrahim, atau silaturrahmi artinya menyambung tali kasih sayang. Suami isteri yang diikat oleh cinta mawaddah dan rahmah sekaligus biasanya saling setia lahir batin-dunia akhirat.

3. Cinta Mail, adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara, sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan. Cinta jenis mail ini dalam al Qur’an disebut dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh cinta kepada yang muda (an tamilu kulla al mail), cenderung mengabaikan kepada yang lama.

4. Cinta Syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang dilakukan. Al Qur’an menggunakan term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir kepada bujangnya, Yusuf.

5. Cinta Ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk salat, membelanya meskipun salah. Al Qur’an menyebut term ini ketika mengingatkan agar janganlah cinta ra`fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini kasus hukuman bagi pezina (Q/24:2).

6. Cinta Shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku penyimpang tanpa sanggup mengelak. Al Qur’an menyebut term ni ketika mengkisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan dengan Zulaiha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan penjara saja), sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam perbuatan bodoh, wa illa tashrif `anni kaidahunna ashbu ilaihinna wa akun min al jahilin (Q/12:33)

7. Cinta Syauq (rindu). Term ini bukan dari al Qur’an tetapi dari hadis yang menafsirkan al Qur’an. Dalam surat al `Ankabut ayat 5 dikatakan bahwa barangsiapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akan tiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam doa ma’tsur dari hadis riwayat Ahmad; wa as’aluka ladzzata an nadzori ila wajhika wa as syauqa ila liqa’ika, aku mohon dapat merasakan nikmatnya memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu. Menurut Ibn al Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin wa Nuzhat al Musytaqin, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepada sang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan kobaran cinta yang apinya berada di dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah wa il tihab naruha fi qalb al muhibbi

8. Cinta Kulfah, yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal yang positip meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu, membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu. Jenis cinta ini disebut al Qur’an ketika menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, la yukallifullah nafsan illa wus`aha (Q/2:286)

silahkan pilih, kita tergolong cinta yang mana ya??

Terakhir Diperbaharui ( Sabtu, 19 Juni 2010 15:57 )  

View the original article here

Dai harus Mampu Jelaskan Pluralisme

Kyai Nuril HudaPara juru dakwah agama (dai dan daiyah) harus mampu menjelaskan kepada masyarakat mengenai arti atau makna pluralisme yang sebenarnya. para dai harus mampu menerangkan bahwa Islam mengakui dan menghargai adanya pluralitas (kemajemuk) dari sisi sosiologis. Yakni kemajemukan dan perbedaan sosial, baik mengenai asal-usul, tingkat ekonomi dan perbedaan kebudayaan.

Demikian dinyatakan Ketua Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (PP LDNU) KH A.N. Nurul Huda dihadapan para peserta Halaqoh Dakwah LDNU VI di Jakarta, Sabtu (23/1). Menurut Kiai Nuril, para dai berkewajiban menjelaskan kepada masyarakat agar tidak terjadi salah pengertian mengenai pluralisme.

"Bahwa pluralisme bukan berarti kita menghargai orang-orang yang pemikirannya melecehkan agama. Jangan sampai terjadi salah paham, orang melecehkan agama dengan alasan pluralisme. Bagaimana pun kita tidak bisa mentolelir pelecehan dan penodaan agama," tutur Kiai Nuril.

Lebih lanjut Kiai Nuril menjelaskan, makna pluralisme sering disalahartikan sebagai pengakuan terhadap segala pemelencengan norma dan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Bahkan tidak jarang pluralisme digunakan sebagai kedok untuk melanggar ketentuan-ketentuan disepakati negara.

"Misalnya, akhir-akhir ini, ada orang-orang yang dengan dalih pluralisme kemudian berbuat semaunya, atau tidak mau melaksanakan ketentuan-ketentuan dan ekwajiban-kewajiban agama. Ini kan namanya pemahaman yang salah tentang pluralisme," tandas Kiai Nuril.

Karenanya, Kiai uril berharap, para dai dapat memberikan pemahaman yang benar kepada amsyarakat agar tidak terjadi hal-hal yang membahayakan keutuhan dan keragaman budaya bangsa, tanpa melanggar norma-norma susila dan agama. (NUOL)

Terakhir Diperbaharui ( Senin, 15 Februari 2010 13:48 )  

View the original article here

Monday, August 22, 2011

Sepenggal Kisah Pendosa yang Diampuni Allah

Seorang pemabuk telah mati di bashrah, sehingga istrinya tidak mendapatkan orang yang membantunya untuk mengubur suaminya karna dianggap oleh penduduk daerahnya bahwa dia adalah orang yang sangat rusak moralnya.

Maka istrinya terpaksa mengupah tukang pikul untuk membawa suaminya ke musholla. Sialnya, tidak seorangpun yang sudi menyembayangkannya. Maka terpaksa dibawa ke hutan untuk dikubur, sedang di dekat hutan itu ada bukit, dan di situ ada seorang zahid (wali Allah) yang terkenal.

Tiba-tiba org zahid itu turun dari uzla/kholwat/pertapaannya, untuk menyembayangkan mayyit itu, dan berita ini tersiar, sehingga orang-orang pada datang untuk menyembayangkan mayyit itu. Lalu karna merasa ta'jub terhadap yang turun dari uzlanya untuk menyebangkan mayyit itu, mereka bertanya: "mengapa ia turun untuk menyembayangkan mayyit ini?

Jawabnya: "aku diperinta turun ke tempat ini karena ada jenazah orang yang diampuni oleh Allah, sedang di situ tidak ada orang kecuali istrinya.

Maka org-orang bertambah heran mendengar keterangan orang zahid itu, lalu si zahid tanya pada istrinya, tentang kelakuan suaminya.

Jawab istrinya: "sebagaimana yang diketahui orang banyak yaitu ia sepanjang hari di kedai khamer dan hanya sibuk minum khamer dan mabuk."

Dan ketika ditanya, apakah amalannya yang baik??

Jawab istrinya: "tidak ada, hanya bila ia sadar di waktu subuh, segera mengganti bajunya dan berwudhu lalu sembayang subuh, kemudian kembali ke tempat khamernya. Hanya saja di rumahnya tidak pernah kosong dari satu atau dua anak yatim yang disayangi melebihi dari anak kandungnya, dan adakalanya bila ia sadar lalu menangis sambil berkata: Ya Allah dibagian manakah dari Jahannam yang Engkau isi dengan penjahat ini (ya'ni dirinya sendiri)

Oleh: Mumu Bisa dari Kitab Irsaydul 'Ibad.

Terakhir Diperbaharui ( Rabu, 15 Juni 2011 23:27 )  

View the original article here

Kristenisasi, Sekularisasi, dan Kaum Kolonial

 Home Republika Online

Kamis, 23 Juni 2011 pukul 14:45:00
Muh Isa AnshoryGuru Pesantren Husnayain SukabumiSalah satu fakta yang tidak bisa dibantah dalam sejarah Indonesia adalah keberadaan Kristen dan tersebarnya paham sekuler di negeri ini. Survei Badan Pu sat Statistik (BPS) tahun 2005 menyebutkan, jumlah penduduk yang beragama Kristen Protestan di Indonesia mencapai 12,96 juta lebih, sedang kan yang beragama Katolik berkisar 6,94 juta jiwa dari sekitar 208,82 juta jiwa penduduk Indonesia. Bila dipersentase, jumlahnya tidak kurang dari 10 persen saja. Jumlah ini menduduki peringkat kedua dan ketiga terbesar setelah Islam sebagai aga ma yang dianut mayoritas penduduk Indonesia. Di belakangnya baru mengikuti agama Hindu dan Buddha dalam jumlah yang lebih kecil.Fakta tentang keberadaan agama-aga ma tersebut, terutama Katolik dan Protestan, membuat perkara hubungan antaragama menjadi urusan yang sangat serius di negeri ini. Bahkan, setiap kali ada kebijakan publik yang dianggap berpihak pada umat mayoritas, segeralah bertubi-tubi argumen klise tentang keberagaman (pluralitas) agama yang ada di negeri ini. Se ba gai mana terjadi pada saat akan disah kan UU Sisdiknas tahun 2003 dan RUU ten tang Zakat sebagai pengu rang pajak, RUU keuangan Islam, dan sebagainya. Jurus untuk menghantamnya tidak pernah ber ubah: di negeri ini hidup juga agama-aga ma lain, padahal jumlahnya tidak signifikan.Salah satu jurus lainnya yang sering digunakan adalah, mereka menganggap Islam tidak memiliki kekuatan politik di negeri ini, terbukti dengan kekalahan par taipartai berlabel Islam dalam pemilihan umum. Kenyataan ini segera saja dijadikan premis untuk mendukung kesimpulan mereka bahwa Islam sama sekali tidak memiliki...

Berita koran ini telah melewati batas tayang. Untuk mengakses, silakan berlangganan.
Bagi Anda yg sudah berlangganan, silakan login disini.
Bagi Anda yg belum mendaftar berlangganan, silakan registrasi disini.


Index Koran

View the original article here

MELURUSKAN SEJARAH PANCASILA

 Home Republika Online

Kamis, 23 Juni 2011 pukul 14:27:00
Dr Adian HusainiDosen Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun BogorSekali waktu, tanyakan pada anak-anak kita, Kapan Pancasila lahir? Mungkin mereka akan menjawab tegas, Tanggal 1 Juni! Jawaban itu tidak mengejutkan.Sebab, memang itu diajarkan di sejumlah buku pelajaran Kewarganegaraan Negara. Pada 1 Juni 2011, acara peringatan hari lahir Pancasila dilakukan secara besarbesaran. Hadir Presiden SBY dan dua mantan Presiden, yakni BJ Habibie dan Megawati.Alkisah, pada 1 Juni 1945, untuk per ta ma kalinya, istilah ?°Pancasila disebutkan oleh Bung Karno dalam Sidang Badan Pe nye lidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Pada hari itu, di forum BPUPK, Bung Karno mengusulkan rumusan dasar Negara Negara, yang terdiri atas lima sila: (1) Kebangsaan Indonesia (2) Internasio nalisme atau Perikemanusiaan (3) Mufakat atau demokrasi (4) Kesejahteraan Sosial (5) Ketuhanan.Jadi, benar! Untuk pertama kalinya istilah Pancasila diangkat oleh Bung Karno pa da 1 Juni. Tapi, faktanya, tiga hari sebelum pidato Bung Karno itu, yakni pada 29 Mei 1945, anggota BPUPK lainnya, Mr. Muhammad Yamin, sudah terlebih dahulu menyampaikan pidatonya yang juga memuat ?°lima asas?± dasar bagi Indonesia mer deka, yaitu (1) perikebangsaan (2) perike manusiaan (3) periketuhanan (4) perikerakyatan dan (5) kesejahteraan rakyat.Tidak ada perbedaan fundamental antara rumusan lima asas?± Yamin dengan lima dasar Soekarno. Panjang naskah pidatonya pun sama, yaitu 20 halaman. Karena itulah, B J Boland dalam bukunya, The Struggle of Islam in Modern Indonesia The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), menyim pulkan bahwa The Pancasila was in fact a creation of Yamin and not Soekarno's. (Pancasila faktanya adalah karya Yamin dan bukan karya Soekarno).Bahkan, tentang nama Pancasila sendiri, diakui oleh Soekarno ia...

Berita koran ini telah melewati batas tayang. Untuk mengakses, silakan berlangganan.
Bagi Anda yg sudah berlangganan, silakan login disini.
Bagi Anda yg belum mendaftar berlangganan, silakan registrasi disini.


Index Koran

View the original article here

Sunday, August 21, 2011

Menerobos Kebekuan Pengajaran Sejarah Indonesia

 Home Republika Online

Kamis, 23 Juni 2011 pukul 14:20:00
Eko Heru PrayitnoSekretaris INSISTSSejak tahun 1964, seperti ditulis oleh Darmiasti (Tesis Dept. Sejarah UI, 2002), mulai muncul buku-buku pelajaran sejarah Indonesia dengan pandangan Indonesia-sentris sebagai kritik terhadap buku-buku pelajaran sejarah yang Neder -lando-sentris (perspektif Belanda). Pada mulanya, Indonesia-sentris dirumuskan sebagai sejarah kerajaan dan kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Definisi ini sangat kuat dipengaruhi tulisan-tulisan Muh Yamin seperti 6000 Tahun Sang Saka Merah Putih dan Gadjah Mada: Pahlawan Pemersatu Nusantara yang lebih banyak berisi romantisme dan apologia daripada fakta-fakta sejarah. Definisi itu segera menuai banyak kritik setelah muncul sarjanasarjana sejarah yang terdidik secara akademik di berbagai perguruan tinggi.Namun sayang, perubahan yang terjadi pada materi pelajaran sejarah malah bergeser ke arah yang lebih tidak menguntungkan. Di bawah supervisi Nugroho Notosusanto dan sejarawan Orde Baru lainnya, pengajaran sejarah dibawa ke wilayah yang lebih mengerikan, yaitu melegitimasi Orde Baru dan digunakan untuk menying kirkan musuh-musuh mereka yang disebut...

Berita koran ini telah melewati batas tayang. Untuk mengakses, silakan berlangganan.
Bagi Anda yg sudah berlangganan, silakan login disini.
Bagi Anda yg belum mendaftar berlangganan, silakan registrasi disini.


Index Koran

View the original article here

Asal Usul Manusia Indonesia

 Home Republika Online

Kamis, 23 Juni 2011 pukul 14:31:00
Budi HandriantoKandidat Doktor Pendidikan Islam, Univ Ibn Khaldun BogorUmumnya, di sekolah-sekolah dasar dan menengah diajarkan bahwa cikal bakal manusia Indonesia adalah ma nusia purba. Itu disimpulkan berda sarkan penemuan fosil-fosil manusia purba di beberapa lokasi di Jawa yang oleh para arkeolog diperkirakan berumur mulai dari 1,7 juta tahun (Sangiran) hingga 50 ribu tahun yang lalu (Ngandong).Anggapan itu sejatinya perlu dikritisi. Fosil ini terdiri atas dua subspesies yang berbeda yaitu Homo Erectus Paleojavanicus yang lebih tua daripada Homo Soloensis. Disebutkan bahwa mereka hidup sezaman dengan manusia mo dern Homo Sapiens kurang lebih 50 ribu tahun lalu. Fosil-fosil manusia purba itu, katanya, meru-pakan nenek moyang manusia Indonesia saat ini.Argumentasi yang digunakan adalah dengan menggunakan teori evolusi yang dicetuskan Charles Darwin, ahli biologi asal Inggris dalam bukunya yang sangat terkenal, The Origin of Species. Berdasarkan teori ini, keberadaan ma nusia sekarang merupakan produk dari evo lusi makhluk hidup yang terjadi selama juta an tahun yang lalu. Pada mulanya manusia berwujud se perti makhluk-makhluk purbakala yang dilu kis kan mirip kera. Untuk mendukung argumen ini, dicarilah fosil-fosil manusia purba seperti yang ditemukan di Sangiran dan Ngandong.Namun, apakah nenek moyang bangsa Indonesia memang manusia-manusia purba mirip kera dan orang utan itu? Para ahli pendukung teori evolusi manusia mengatakan, bahwa makhluk itu merupakan missing link(mata rantai yang hilang) dari ras manusia. Tetapi, bagi umat Islam dan banyak ilmuwan modern saat ini, keberadaan fosil manusia purba diragukan. Para evolusionis (kaum yang menganut paham teori evolusi Darwin) yang memang ateis tidak punya pijakan siapa manusia pertama sehingga berasumsi bahwa...

Berita koran ini telah melewati batas tayang. Untuk mengakses, silakan berlangganan.
Bagi Anda yg sudah berlangganan, silakan login disini.
Bagi Anda yg belum mendaftar berlangganan, silakan registrasi disini.


Index Koran

View the original article here

Saturday, August 20, 2011

Pergulatan Filosofis Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd Al-Ghazali dan Filsafat

 Home Republika Online

Kamis, 21 Juli 2011 pukul 16:14:00
Adnin ArmasPemred Majalah Gontor“Sekelompok masyarakat begitu terpesona dengan kehebatan filsafat Yunani. Mereka lebih suka mengikuti pemikiran filsafat ketimbang ajaran Islam. Nama-nama filsuf beken, seperti Socrates, Hippocrates, dan Aristoteles, membuat mereka terkagum-kagum. Padahal, mereka belum memahami betul pemikiran para filsuf tersebut,” demikian tulis al-Ghazali (450/1058-505/1111), Sang Bukti Islam (Hujjatul Islam), di halaman awal Tahafutul Falasifah.Bermaksud menunjukkan kekeliruan filsafat, al-Ghazali menulis Tahafutul Falasifah (Ketidakkoherensian Para Filsuf). Karya yang ditulis sekitar Januari 1095 itu adalah jawaban bagi mereka yang terlalu mengidolakan filsafat.Namun, al-Ghazali tidak menolak filsafat secara total. Bagi al-Ghazali, pemikiran para filsuf ada juga yang tidak bertentangan dengan akidah (la yasdumu maz ha buhum fihi aslan min usuliddin). Pemikiran para filsuf tentang gerhana bulan (al-kusu ful qamariy), yaitu hilangnya cahaya bulan disebabkan posisi bumi yang berada di antara bulan dan matahari, tidak bertentangan dengan Islam. Saat gerhana, bulan b rada dalam bayang-bayang bumi, maka si nar matahari tidak dapat diserap oleh bulan.Begitu juga dengan pemikiran mereka mengenai gerhana matahari (kusufus syams), tatkala posisi bulan berada di tengah antara bumi dan matahari. Al-Ghazali menegaskan, jika pendapat mereka mengenai hal-hal seperti ini ditolak dengan alasan agama, justru akan melemahkan ajaran Islam.Jadi, bagi al-Ghazali, filsafat itu ada sesatnya. Namun, ada pula benarnya. Selama tidak bertentangan dengan akidah, maka fisika, logika, matematika, dan geometri yang merupakan bagian dari ilmu filsafat bisa diterima. Tapi, jika bertentang an dengan akidah, seperti metafisika dan unsur-unsur dalam fisika ataupun psikologi (saat itu psikologi bagian dari ilmu filsafat), bagian dari filsafat tersebut harus ditolak. Al-Ghazali telah meletakkan filsafat pada tempatnya.Tahafutul FalasifahDalam karyanya, Tahafutul Falasifah, al-Ghazali menunjukkan kekeliruan pemikiran para filsuf Yunani dan para pengikut mereka seperti al-Farabi (m 950) dan Ibnu Sina (m 1037). Tahafutul Falasifah memuat 20 persoalan filosofis. Dari kedua puluh persoalan tersebut, tiga persoalan menyebabkan kekufuran, yaitu pemikiran para filsuf bahwa alam (yang dimaksud dengan alam adalah apa saja ciptaan Allah, termasuk alamul ghaib) adalah tidak bermula; Tuhan mengetahui hal-hal partikular dengan cara yang universal; dan tidak ada kebangkitan fisik di akhirat kelak.Dari kedua puluh persoalan filosofis, persoalan keazalian alam menyedot sekitar seperlima dari keseluruhan isi buku Taha futul Falasifah. Bagaimana Tuhan menciptakan alam? Para filsuf (tidak termasuk Plato) beranggapan bahwa alam tidak ber mula. Alam ada sejak Tuhan ada. Tuhan ada, maka alam ada. Jika Tuhan ada dan alam tidak ada, ketiadaan hadir sebelum adanya alam.Namun bagi para filsuf, kondisi seperti itu mustahil bagi akal. Sebab, jika alam dari tiada kemudian berubah menjadi ada, pasti ada faktor (murajjih) yang menyebabkan perubahan dari ketiadaan menjadi ada. Para filsuf menyatakan tidak mungkin jika perubahan tersebut disebabkan oleh Tuhan....

Berita koran ini telah melewati batas tayang. Untuk mengakses, silakan berlangganan.
Bagi Anda yg sudah berlangganan, silakan login disini.
Bagi Anda yg belum mendaftar berlangganan, silakan registrasi disini.


Index Koran

View the original article here

103 TAHUN MOHAMMAD NATSIR Kekuatan Rohani Al-Ghazali

 Home Republika Online

Kamis, 21 Juli 2011 pukul 16:08:00
Tanggal 17 Juli 2011 seja tinya tercatat sebagai salah satu Hari Bersejarah bagi bangsa Indonesia, dan umat Islam khususnya. Se ratus tiga tahun lalu, 17 Juli 1908, lahirlah di bumi pertiwi ini, seorang cendekiawan pejuang yang kemudian dikenal dengan nama Mohammad Natsir. Di kemudian hari, tahun 2008, pemerin tah RI menganugerahinya gelar “Pahlawan Nasional”.Sudah begitu banyak karya ilmiah ditorehkan untuk mengenang kehidupan, perjuangan, dan pemikiran Mohammad Natsir. Namun, ada saja sisi-sisi kehidupan Natsir yang mengusik akal-pikiran untuk mencermatinya. Natsir tidak pernah duduk di bangku kuliah. Apalagi sampai jenjang S-3 atau bergelar professor.Riwayat pendidikan formalnya diawali tahun 1916-1923, saat ia memasuki HIS (Hollands Inlandsche School) di Solok. Sore harinya, ia menimba ilmu di Madrasah Diniyah. 1923-1927, Natsir memasuki jenjang sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang. Lalu, pada 1927-1930, ia memasuki jenjang sekolah lanjutan atas di Algemene Middelbare School (AMS) di Bandung.Menilik sejarah hidupnya, Natsir bisa di katakan sebagai seorang yang haus ilmu. Saat duduk di bangku AMS (setingkat SMA sekarang), Natsir terus mendalami agama, disamping belajar sungguh-sungguh di sekolah umum. Kegemarannya dalam membaca buku, mendorongnya menjadi anggota perpustakaan dengan bayaran tiga rupiah sebulan. Setiap buku baru yang datang, Natsir selalu mendapat kiriman da ri perpustakaan. Ada tiga guru yang mempengaruhi alam pikirannya, yaitu pemimpin Persis A Hassan, Haji Agus Salim, dan pendiri al-Irsyad Islamiyah Syekh Akhmad Syoerkati.Al-GhazaliKuatnya hasrat keilmuan Natsir dapat dilihat pada karya-karya tulisnya, sejak usia muda. Pada 1930-an, dalam usia sekitar 30 tahun, Natsir telah aktif me nulis tentang...

Berita koran ini telah melewati batas tayang. Untuk mengakses, silakan berlangganan.
Bagi Anda yg sudah berlangganan, silakan login disini.
Bagi Anda yg belum mendaftar berlangganan, silakan registrasi disini.


Index Koran

View the original article here

ISLAMISASI KURIKULUM SEJARAH SMA

 Home Republika Online

Kamis, 23 Juni 2011 pukul 14:52:00
Tiar Anwar BachtiarKetua Umum PP Pemuda PersisSecara halus siswa seolah diajarkan bahwa menjadi Islam tidak bisa bersamaan menjadi “Indonesia” karena Islam di Indonesia adalah pengacau, pemberontak, dan bahkan teroris.Sudah menjadi permakluman bersama di mana pun, termasuk di Indonesia, sebuah pengajaran Sejarah Nasional ditujukan untuk meyakinkan warga negaranya bahwa negara yang menjadi tempat hidup mereka adalah sebuah negara yang sah dan layak untuk diberi dukungan sepenuhnya. Pembelaan dan dukungan terhadap negara atau nasionalisme merupakan buah yang ingin diperoleh dari pengajaran sejarah.Di Indonesia, keinginan ini terlihat dalam kurikulum pengajaran sejarah sejak pelajaran sejarah Indonesia ditetapkan sekitar tahun 1950-an. Terakhir, dalam standarisasi isi pelajaran yang diterbitkan Badan Nasional Standarisasi Pendidikan Indonesia (BNSPI) melalui Kepmen No. 22 tahun 2006 disebutkan tujuan pengajaran sejarah antara lain untuk: menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang, dan menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional. (Tujuan pelajaran sejarah untuk SMA no. 4 dan 5).Tujuan seperti di atas memang wajar dikehendaki oleh suatu negara. Akan tetapi, dalam kasus Indonesia, yang menjadi persoalan justru pada perumusan apa yang dimaksud dengan Indonesia?. Isi pelajaran sejarah Indonesia yang semestinya dapat menjawab pertanyaan tersebut selama ini ter nyata gagal memberikan makna keindo nesiaan bagi seluruh warga bangsa. Makna Indonesia yang diciptakan dalam buku-buku pelajaran sejarah justru mengesankan permusuhan bagi sebagian kelompok di negeri ini.Contoh yang paling nyata adalah mengenai peran Islam dan umat Islam dalam pembentukan Indonesia. Dalam standar kompetensi dan komptensi dasar yang dibuat BNSPI, peran Islam hanya dibahas di kelas XI semester 1 sub bagian 1.3 dan 1.4 setelah penjelasan mengenai Hindu-Budha pada subbagian 1.1 dan 1.2. Pembahasannya diletakan di bawah...

Berita koran ini telah melewati batas tayang. Untuk mengakses, silakan berlangganan.
Bagi Anda yg sudah berlangganan, silakan login disini.
Bagi Anda yg belum mendaftar berlangganan, silakan registrasi disini.


Index Koran

View the original article here

Friday, August 19, 2011

PROF. MAMAN ABDURRAHMAN ULAMA, AKADEMISI DAN AKTIVIS

 Home Republika Online

Kamis, 23 Juni 2011 pukul 14:17:00
Saat ini, bila menyebut tokoh ormas dengan kepakaran akademis mumpuni, salah satunya akan dialamatkan pada Prof Dr Maman Abdurrahman, ketua umum PP persatuan islam (Persis). Ia dilahirkan di Ciamis, 7 Agustus 1948 dari keluarga yang sederhana. Sejak kecil dunia pesantren sudah membentuknya untuk menjadi ulama-akademis. Sambil menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah, Maman selalu menyempatkan mengaji kitab di pesantren. Bahkan ia memilih untuk tinggal di kobong (asrama pesantren) agar semakin dapat menguasai berbagai disiplin ilmu agama, sambil tetap bersekolah di SD dan SMP.Kecintaannya pada ilmu agama mengantarkannya berguru kepada K H E Abdurrahman di Pesantren Persis Pajagalan Bandung sampai selesai jenjang Mu'allimin. Selepas dari Mu'allimin, ia pun melanjutkan jenjang S1-nya di Fakultas Syari'ah Universitas Islam Bandung (Unisba).Prestasinya di bidang akademik mengantarkannya menjadi dosen di almamaternya dan berkesempatan melanjutkan studi S2 di Universitas Liga Arab, Sudan. Tidak puas sam pai di situ, ia kemudian melanjutkan studi S3-nya di IAIN Jakarta. Saat lulus menjadi Doktor pa da tahun 1998, ia tercatat sebagai alumnus Pesantren Persis pertama yang berhasil meraih predikat tertinggi dalam jenjang akademik formal.Disertasinya kemudian diterbitkan dengan judul Perkembangan Pemikiran Hadits. Tidak hanya dunia intelektual, dunia pergerakan pun dilakoninya dengan serius. Semasa mahasiswa mau pun setelahnya, ia aktif di berbagai organisasi. Di Persis, ia pernah menjabat Ketua Bidang Tarbiyah Pimpinan Pusat (PP) Persis,...

Berita koran ini telah melewati batas tayang. Untuk mengakses, silakan berlangganan.
Bagi Anda yg sudah berlangganan, silakan login disini.
Bagi Anda yg belum mendaftar berlangganan, silakan registrasi disini.


Index Koran

View the original article here

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Kelahiran Ibrahim

REPUBLIKA.CO.ID, Rasulullah kembali ke Madinah setelah membebaskan Makkah dan setelah mendapat kemenangan di Hunain dan mengepung Ta'if. Dalam hati orang Arab, semua sudah nyata dan yakin, bahwa takkan ada yang dapat menandingi kaum Muslimin di seluruh jazirah, juga tak ada lagi lidah yang akan mengganggu atau mencela Rasulullah. 

Pihak Anshar dan Muhajirin semua merasa sangat gembira karena Allah telah membukakan jalan kepada Nabi, membebaskan negeri tempat Masjid Suci. Mereka gembira karena penduduk Makkah telah beroleh hidayah dengan menganut Islam, dan orang-orang Arab—dengan kabilahnya yang beraneka ragam itu—telah tunduk dan taat kepada agama ini.
Kemenangan yang belum ada taranya dalam sejarah Arab ini telah menimbulkan kesan yang dalam sekali di dalam hati orang-orang Arab, juga dalam hati pembesar-pembesar dan bangsawan-bangsawan Quraiys. Mereka tak pernah membayangkan, bahwa pada suatu hari mereka akan tunduk kepada Muhammad SAW atau akan menerima agamanya sebagai agama mereka.

Kabilah-kabilah Arab mulai berdatangan kepada Nabi dan menyatakan kesetiaannya. Dari kabilah Tayy, datang utusan yang dipimpin oleh ketuanya sendiri, Zaid Al-Khail. Setelah mereka ini tiba, Nabi pun menyambut mereka dengan baik sekali.

Ketika terjadi pembicaraan dengan Zaid, Nabi berkata, "Setiap ada orang dari kalangan Arab yang digambarkan begitu baik, kemudian orang itu datang kepadaku, ternyata ia kurang daripada apa yang digambarkan orang, kecuali Zaid Al-Khail ini. Ia melebihi daripada apa yang digambarkan orang."
Lalu Rasulullah menamainya Zaid Al-Khair (Zaid yang baik) bukan lagi, Zaid Al-Khail (Zaid si kuda). Kabilah Tayy kemudian masuk Islam termasuk Zaid sendiri sebagai pemimpinnya.
Demikian juga pemuka-pemuka kabilah yang lain berdatangan kepada Rasulullah—setelah pembebasan Makkah dan kemenangan di Hunain serta pengepungan Ta'if—mereka hendak mengakui risalahnya dan menerima Islam. Sementara itu, ketika kembali ke Madinah, kaum Rasulullah lega dengan adanya pertolongan Allah dan kehidupan yang tenteram itu.
Akan tetapi ketenteraman hidup masa itu tampaknya tidak begitu cerah. Pada waktu itu Zainab, putri Rasulullah sedang menderita sakit yang sangat mengkhawatirkan. Akhirnya sakit yang diderita Zainab berujung maut. Dengan kematiannya itu tak ada lagi dari keturunan Rasulullah yang masih hidup selain Fatimah—setelah Ummu Kultsum dan Ruqayyah wafat lebih dulu sebelum Zainab. Dengan kehilangan putrinya ini, Rasulullah sangat sedih.

Namun kesedihan itu tak berlangsung lama, Mariyah melahirkan seorang anak laki-laki yang diberinama Ibrahim, nama yang diambil dari Nabi Ibrahim—leluhur para nabi.

Sejak Mariyah diberikan oleh Muqauqis kepada Nabi Muhammad, sampai pada waktu itu masih berstatus hamba sahaya. Oleh karena itu, tempatnya tidak di samping masjid seperti istri-istri Nabi, Ummul Mukminin yang lain. Rasulullah menempatkan Mariyah di Alia, di bagian luar kota Madinah—tempat yang kini diberinama Masyraba Ummu Ibrahim—dalam sebuah rumah di tengah-tengah  kebun anggur.

Dengan kelahiran Ibrahim itu, kedudukan Mariyah dalam pandangannya tampak lebih tinggi, dari tingkat bekas budak ke derajat istri. Dan Rasulullah juga kian dekat dengannya. Wajar sekali jika hal ini menambah rasa iri hati di kalangan istri-istri Nabi yang lain. Apalagi Mariyah melahirkan keturunan beliau, sedang mereka semua tidak memperoleh seorang putra pun.


View the original article here

Thursday, August 18, 2011

Fanoos, Lentera Mesir, Simbol Ramadhan yang Terancam Punah

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO - Sebuah sudut gang sempit, di kawasan ibukota Kairo, ada seorang bernama Nasser Mustafa. Ia bersusah payah membuat potongan-potongan logam guna membentuk lentera tradisional Mesir, Fanoos.  Bagi warga Mesir, Fanoos, merupakan simbol Ramadhan yang bermakna petunjuk pada setiap Muslim menuju keridhaan  Tuhan.

Dari bentuknya, fanoos menyerupai pohon natal, yang menjadi simbol spiritual bagi pemeluk Nasrani. Peletakannya pun nyaris sama dengan pohon Natal yakni balkon atau dekat meja makan. Menurut kepercayaan masyarakat Mesir,  peletakan Fanoos dekat meja makan menciptakan suasana kehangatan dan kebersamaan.

Sejarah fanoos di Mesir dimulai saat dinasti Fatimiyah, berkuasa di abad ke-10. Namun naas, Dalam satu abad terakhir, Fanoos tengah menghadapi ancaman. Kehadiran lentera buatan China yang dibarengi ketidakbecusan pemerintah Mesir dalam melindungi pedagang lokal menjadi petaka. Kondisi kian diperparah, saat keluarga Mesir tidak lagi meneruskan tradisi yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi.

“Orang tua kami telah menurunkan tradisi ini, tapi tidak dengan keturunannya,” kata Ridha Ashour, salah seorang perajin Fanoos, seperti dikutip Alarabiya, Selasa (16/8).

Ancaman itu kian nyata saat salah satu jalan tertua di Kairo tidak lagi menjadi surga bagi seniman fanoos. Mereka enggan membuat Fanoos, lantaran harga bahan baku tidak lagi terjangkau. Sekalipun mereka lanjutkan, mereka harus bersaing dengan lentera buatan China yang jauh lebih murah.

Ashour mengatakan, untuk proses awal seperti pemanas logam dan pengelasan untuk Fanoos berukuran kecil membutuhkan biaya 10 pound Mesir ($ 1,60). Sementara biaya yang dibutuhkan untuk membuat Fanoos berukuran besar mencapai 10.000 pound Mesir ($ 1.600).

"Semua yang kita gunakan untuk membuat fanoos  harus diimpor mulai dari A sampai Z," kata Mohammed Fawzi, 27, yang bekerja di ruang garasi kecil bersama dua saudara dan ayahnya.Ia mengatakan, 13 tahun lalu  mereka mampu memproduksi sekitar sepertiga lentera yang dijual di pasaran. Namun, jumlah tersebut berkurang drastis semenjak lentera Cina membanjiri pasar Fanoos.

Direktur Eksekutif Kamar Dagang Mesir-Cina, Omaima Mabrouk mengatakan impor Mesir dari China mencapai $ 6 miliar. Sebaliknya, nilai ekspor Mesir ke Cina hanya menembus angka $ 1 miliar. Untuk itu, Mabrouk menilai pemerintah Mesir perlu melindungi pasar lokal dengan memperbaiki hak-hak pekerja dan manajemen dalam sektor publik dan swasta.

“Pemerintah membuat masyarakah kehilangan besar,” kata Mabrouk. Menurutnya, pemerintahan mantan Presiden Hosni Mubarak merupakan biang keladi ketidakmampuan pengrajin Fanoos. "Polisi setempat akan datang dan mengambil barang-barang kami dan membuangnya jika  kita tidak memberi mereka suap," timpal Ashour.

Harapan perbaikan nasib Fanoos mengemuka kembali, selepas Presiden Hosni Mubarak jatuh. Namun, tidak sedikit kalangan seniman yang meragukan, pemerintahan baru Mesir akan memperbaiki nasib mereka.

Namun ada pula mereka yang bertahan. Salma Jazayerli, perempuan asal Suriah yang lama tinggal di Mesir, adalah salah satu perajin Fanoos yang tidak terpengaruh dengan krisis. Ia terbilang berhasil mempertahankan bisnisnya hingga kini. Bahkan Fanoos buatan Salma menjadi primadona supermarket kelas atas di Kairo.

"Sulit untuk memiliki Ramadhan tanpa Fanoos," kata Jazayerli. Ia mengatakan solusi krisis yang dialami pengrajin Fanoos adalah menghentikan impor dari Cina,

Nada tidak sependapat disampaikan pedagang Fanoos, Ahmed Leeba. Ia mengatakan untuk kualitas, lentera buatan Cina lebih. "Lentera-lentera Cina seperti mainan," kata Leeba.

Leeba mengaku lentera Ramadhan dari Cina cukup digandrungi warga Mesir. Selama Ramadhan, ia mengaku juga menjual hingga 500 lentera buatan lokal. Namun lentera buatan Cina justru laku lebih banyak, yakni mencapai 2.000 buah.

“Jujur, lentera Cina merusak pasar Mesir,” pungkas dia, Agung Sasongko


View the original article here

Kisah Sahabat Nabi: Khalid bin Sa'id bin Ash, Kebesaran Jiwa Seorang Sahabat

REPUBLIKA.CO.ID, Khalid bin Sa’id bin Ash dilahirkan di sebuah keluarga kaya dan mewah, dan tergolong kepala-kepala suku dari seorang warga Quraisy yang terkemuka dan memegang pimpinan.

Khalid adalah seorang pemuda yang bersikap tenang, pendiam tak banyak bicara. Tapi yang sebenarnya, pada batinnya dan dalam lubuk hatinya, bergelora dengan hebatnya gerakan dan kegembiraan.

Suatu hari, Khalid yang sudah bangun itu masih berada di tempat tidurnya, baru saja mengalami suatu mimpi yang sangat dahsyat. Bahwa ia berdiri di bibir nyala api yang besar, sedang ayahnya dari belakang hendak mendorongnya dengan kedua tangannya ke arah api itu dan bermaksud hendak melemparkannya ke dalamnya. Kemudian dilihatnya Rasulullah datang ke arahnya, lalu menariknya dari belakang dengan tangan kanan­nya yang penuh berkah hingga tersingkirlah ia dari bahaya jilatan api.

la tersadar dari mimpinya dengan memperoleh bekal langkah perjuangan menghadapi masa depannya. Ia segera pergi ke rumah Abu Bakar lalu menceritakan mimpinya itu. Dan mimpi seperti itu sebetulnya tidak memerlukan ta’bir lagi.

Kata Abu Bakar kepadanya, "Sesungguhnya tak ada yang kuinginkan untukmu selain dari kebaikan. Nah, dialah Rasulullah SAW. Ikutilah dia, karena sesungguhnya Islam akan menghindarkanmu dari api neraka!"

Khalid pun pergilah mencari Rasulullah SAW sampai menemukan tempat beliau, lalu menumpahkan isi hatinya, dan menanyakan tentang dakwahnya.

Kata Nabi, "Hendaklah engkau beriman kepada Allah yang Maha Esa semata, jangan mempersekutukan-Nya dengan suatu apa pun. Dan engkau beriman kepada Muhammad, hamba-Nya dan Rasul-Nya. Dan engkau tinggalkan penyembahan berhala yang tidak dapat mendengar dan tidak dapat melihat, tidak memberi mudharat dan tidak pula manfaat."

Khalid lalu mengulurkan tangannya yang disambut oleh tangan kanan  Rasulullah SAW dengan penuh kemesraan, dan Khalid pun berucap, "Aku bersaksi bahwa tak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad Rasul Allah."

Pada waktu Khalid memeluk Islam, belum ada orang yang mendahuluinya kecuali empat atau lima orang, hingga dengan demikian ia termasuk dalam lima orang angkatan pertama pemeluk Islam. Dan setelah diketahui yang menjadi pelopor dari agama ini adalah salah seorang di antaranya putra Sa’id bin Ash, maka bagi Sa’id, peristiwa itu akan menyebabkannya menjadi bulan-bulanan penghinaan dan ejekan bangsa Quraisy. Dan akan menggoncangkan kedudukannya sebagai pemimpin.

Oleh karena itu dipanggilnyalah anaknya, Khalid, lalu bertanya, "Benarkah kamu telah mengikuti Muhammad dan membiarkannya mencaci tuhan-tuhan kita?"

Jawab Khalid, "Demi Allah, sungguh ia seorang yang benar dan sesungguhnya aku telah beriman kepadanya dan mengikutinya."

Ketika itulah pukulan ayahnya secara bertubi-tubi menimpa dirinya, yang kemudian mengurungnya dalam kamar gelap di rumahnya, lalu membiarkannya terpenjara menderita lapar dan dahaga. Namun Khalid berseru kepadanya dengan suara keras dari balik pintu yang terkunci, "Demi Allah, sesungguhnya ia benar dan aku beriman kepadanya!"

Jelaslah sekarang bagi Sa’id, bahwa siksa yang ditimpakan kepada anaknya itu belum lagi cukup dan memadai. Oleh sebab itu, dibawanya anak itu ke tengah panas teriknya kota Makkah, lalu ia menginjak-injaknya di atas batu-batu yang panas menyengat. Sa'id memperlakukan putranya sedemikian rupa selama tiga hari penuh, tanpa perlindungan dan keteduhan, tanpa setetes air pun yang membasahi bibirnya.

Akhirnya sang ayah putus asa lalu kembali pulang ke rumahnya. Tapi di sana ia terus berusaha menyadarkan anaknya itu dengan berbagai cara, baik dengan membujuk atau mengancamnya.

Tetapi Khalid berpegang teguh kepada kebenaran, "Aku tak hendak meninggalkan Islam karena suatu apa pun, aku akan hidup dan mati bersamanya!" katanya pada sang ayah.

Maka berteriaklah Sa’id, "Kalau begitu enyahlah engkau pergi dari sini, anak keparat. Demi Lata, kau tak boleh makan di sini!"

"Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki," jawab Khalid. Kemudian ditinggalkannya rumah yang penuh dengan kemewahan dan kesenangan itu. Demikianlah Khalid melalui bermacam derita dengan pengorbanan dan mengatasi segala halangan demi keimanan.

Dan sewaktu Rasulullah SAW memerintahkan para sahabatnya hijrah yang kedua ke Habasyah, maka Khalid termasuk salah seorang anggota rombongan. Ia berdiam di sana beberapa lamanya, kemudian kembali bersama kawan-kawannya ke kampung halaman mereka di tahun yang ke-7. Mereka dapatkan kaum Muslimin telah membebaskan Khaibar.

Khalid kemudian bermukim di Madinah, di tengah-tengah masyarakat Islam yang baru. Di mana ia termasuk salah seorang angkatan lima pertama yang menyaksikan kelahiran Islam, dan ikut membina bangunannya. Sejak itu Khalid selalu beserta Nabi dalam barisan pertama pada setiap peperangan atau pertempuran. Dan karena kepeloporannya dalam Islam ini serta keteguhan hatinya dan kesetiaannya, jadilah ia tumpuan kesayangan dan penghormatan.

Sebelum wafatnya, Rasulullah mengangkat Khalid menjadi gubernur di Yaman. Sewaktu sampai kepadanya berita pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah dan pengukuhannya, ia lalu meninggalkan jabatannya datang ke Madinah.

Ia kenal betul kelebihan Abu Bakar yang tak dapat ditandingi oleh siapa pun. Tetapi ia berpendirian bahwa di antara kaum Muslimin yang lebih berhak dengan jabatan khalifah itu adalah salah seorang dari keturunan Hasyim, umpamanya Abbas atau Ali bin Abi Thalib.

Pendiriannya ini dipegangnya teguh, hingga ia tidak berbaiat kepada Abu Bakar. Namun Abu Bakar tetap mencintai dan menghargainya, tidak memaksanya untuk mengangkat baiat dan tidak pula membencinya. Setiap disebut namanya di kalangan Muslimin, khalifah besar itu tetap menghargai dan memujinya, suatu hal yang memang menjadi hak dan miliknya.

Belakangan pendirian Khalid bin Sa’id ini berubah. Tiba-tiba di suatu hari ia menerobos dan melewati barisan-barisan di masjid, menuju Abu Bakar yang sedang berada di atas mimbar, maka ia pun membaiatnya dengan tulus dan hati yang teguh.

Abu Bakar memberangkatkan pasukannya ke Syria (Suriah), dan menyerahkan salah satu panji perang kepada Khalid bin Sa’id, hingga dengan demikian berarti ia menjadi salah seorang kepala pasukan tentara. Tetapi sebelum tentara itu bergerak meninggalkan Madinah, Umar menentang pengangkatan Khalid bin Sa’id, dan dengan gigih mendesakkan usulnya kepada khalifah, hingga akhirnya Abu Bakar merubah keputusannya dalam pengangkatan ini.

Abu Bakar Ash-Shiddiq meringankan langkah ke rumah Khalid meminta maaf padanya serta menerangkan pendiriannya yang baru. Abu Bakar menanyakan Sa'id kepada kepala dan pemimpin pasukan mana ia akan bergabung, apakah kepada Amar bin Ash anak pamannya, atau kepada Syurahbil bin Hasanah?

Maka Khalid memberikan jawaban yang menunjukkan kebesaran jiwa dan ketakwaannya. "Anak pamanku lebih kusukai karena ia kerabatku, tetapi Syurahbil lebih kucintai karena Agamanya." Kemudian ia memilih sebagai prajurit biasa dalam kesatuan Syurahbil bin Hasanah.

Di medan pertempuran Marjus Shufar di daerah Syria, yang terjadi dengan dahsyatnya antara Muslimin dengan orang-orang Romawi, terdapat seorang syahid yang mulia. Ketika kaum Muslimin mencari-cari para syuhada sebagai korban pertempuran, mereka mendapati jasad Khalid dalam keadaan tenang, diam, dengan seulas senyum tipis.


View the original article here

Para Perawi Hadits: Imam An-Nasa'i, Dari Al-Mujtaba ke Sunan Nasa'i

REPUBLIKA.CO.ID, Nama lengkap Imam An-Nasa’i adalah Abu Abdul Rahman Ahmad bin Ali bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr Al-Khurasani Al-Qadi. Ia lahir di daerah Nasa’ pada 215 H. Ada juga sementara ulama yang mengatakan bahwa ia lahir pada 214 H.

Ia dinisbahkan kepada daerah Nasa’ (An-Nasa’i), daerah yang menjadi saksi bisu kelahiran seorang ahli hadits kaliber dunia. Ia berhasil menyusun sebuah kitab monumental dalam kajian hadits, yakni Al-Mujtaba yang di kemudian hari kondang dengan sebutan Sunan An-Nasa’i.

Pada awalnya, Nasa'i tumbuh dan berkembang di daerah Nasa’. Ia berhasil menghapal Alquran di madrasah yang ada di desa kelahirannya. Ia juga banyak menyerap berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para ulama di daerahnya.

Saat remaja, seiring dengan peningkatan kapasitas intelektualnya, ia pun mulai gemar melakukan lawatan ilmiah ke berbagai penjuru dunia. Apalagi kalau bukan untuk memburu ilmu-ilmu keagamaan, terutama disiplin hadits dan ilmu hadits.

Belum genap 15 tahun, Nasa'i sudah melakukan pengembaraan ke berbagai wilayah Islam, seperti Mesir, Hijaz, Irak, Syam, Khurasan, dan lain sebagainya. Sebenarnya, lawatan intelektual yang demikian, bahkan dilakukan pada usia dini, bukan merupakan hal yang aneh di kalangan para Imam Hadis.

Semua imam hadits, terutama enam imam hadits, yang biografinya banyak kita ketahui, sudah gemar melakukan lawatan ilmiah ke berbagai wilayah Islam semenjak usia dini. Dan itu merupakan ciri khas ulama-ulama hadits, termasuk Imam An-Nasa’i.

Kemampuan intelektual Imam Nasa’i menjadi kian matang dan berisi dalam masa pengembaraannya. Namun demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena justru di daerah inilah, ia mengalami proses pembentukan intelektual. Sementara masa pengembaraannya dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan pengetahuan.

Seperti para pendahulunya—Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam Tirmidzi—Imam Nasa’i juga tercatat mempunyai banyak pengajar dan murid. Para gurunya memiliki nama harum yang tercatat oleh pena sejarah, antara lain; Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, Al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abu Dawud), serta Imam Abu Isa At-Tirmidzi (penyusun Kitab Al-Jami’ atau Sunan At-Tirmidzi).

Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramahnya, antara lain; Abu Al-Qasim At-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu’jam), Abu Ja’far At-Thahawi, Al-Hasan bin Al-Khadir Al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin Al-Ahmar Al-Andalusi, Abu Nashr Ad-Dalaby, dan Abu Bakar bin Ahmad As-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam An-Nasa’i dalam meriwayatkan kitab Sunan An-Nasa’i.

Sudah mafhum di kalangan peminat kajian hadits dan ilmu hadits, para imam hadits merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadits kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.

Tidak ketinggalan pula Imam Al-Nasa’i. Karya-karyanya yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain; As-Sunan Al-Kubra, As-Sunan As-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab As-Sunan Al-Kubra), Al-Khashais, Fadhail Al-Shahabah, dan Al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn Al-Atsir Al-Jazairi dalam kitabnya Jami Al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi’i.

Karya Imam Al-Nasa’i paling monumental adalah Sunan An-Nasa’i. Sebenarnya, bila ditelusuri secara seksama, terlihat bahwa penamaan karya monumental beliau sehingga menjadi Sunan An-Nasa’i sebagaimana yang kita kenal sekarang, melalui proses panjang, dari As-Sunan Al-Kubra, As-Sunan As-Sughra, Al-Mujtaba, dan terakhir terkenal dengan sebutan Sunan An-Nasa’i.

Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan An-Nasa’i, kitab ini dikenal dengan As-Sunan Al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, Imam Nasa'i kemudian menghadiahkan kitab tersebut kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan.

Amir kemudian bertanya kepada An-Nasa’i, "Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadits shahih?"

Nasa'i menjawab dengan jujur, "Ada yang shahih, hasan, dan adapula yang hampir serupa dengannya."

Kemudian Amir berkata kembali, "Kalau demikian halnya, maka pisahkanlah hadits yang shahih-shahih saja!"

Atas permintaan Amir ini, Imam Nasa'i kemudian menyeleksi dengan ketat semua hadits yang telah tertuang dalam kitab As-Sunan Al-Kubra. Dan akhirnya ia berhasil melakukan perampingan terhadap As-Sunan Al-Kubra, sehingga menjadi As-Sunan Al-Sughra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab yang pertama.

Imam Nasa’i sangat teliti dalam menyeleksi hadits-hadits yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar, "Kedudukan kitab As-Sunan Al-Sughra di bawah derajat Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit sekali hadits dhaif yang terdapat di dalamnya."

Nah, karena hadits-hadits yang termuat di dalam kitab kedua (As-Sunan Al-Sughra) merupakan hadits-hadits pilihan yang telah diseleksi dengan super ketat, maka kitab ini juga dinamakan Al-Mujtaba. Pengertian Al-Mujtaba bersinonim dengan Al-Mukhtar (yang terpilih), karena memang kitab ini berisi hadits-hadits pilihan, hadits-hadits hasil seleksi dari kitab Al-Sunan Al-Kubra.

Imam al-Nasa’i merupakan figur yang cermat dan teliti dalam meneliti dan menyeleksi para periwayat hadits. Ia juga telah menetapkan syarat-syarat tertentu dalam proses penyeleksian hadits-hadits yang diterimanya.

Abu Ali Al-Naisapuri pernah berujar, "Orang yang meriwayatkan hadits kepada kami adalah seorang imam hadits yang telah diakui oleh para ulama, ia bernama Abu Abdul Rahman An-Nasa’i."

Setahun menjelang kemangkatannya, Imam Nasa'i pindah dari Mesir ke Damaskus (Suriah). Dan tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggalnya. Ad-Daruquthni mengatakan, Imam Nasa'i wafat di Makkah dan dikebumikan di antara Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah Al-’Uqbi Al-Mishri.

Sementara ulama yang lain, seperti Imam Adz-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Yunus, Abu Ja’far At-Thahawi (murid Nasa’i) dan Abu Bakar An-Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, An-Nasa’i meninggal pada 303 H dan dikebumikan di Baitul Maqdis, Palestina.


View the original article here

Para Perawi Hadits: Imam At-Tirmidzi, Ahli Hadits dan Fiqh

REPUBLIKA.CO.ID, Nama lengkapnya adalah Imam Al-Hafidz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmidzi. Dia adalah salah seorang ahli hadits kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyhur. Tirmidzi lahir pada 279 H di kota Tirmiz.

Semenjak kecilnya, Tirmidzi gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain. Dalam lawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadits untuk mendengar hadits yang kemudian dihapal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan, atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah.

Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadits dari sebagian guru mereka.

Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin Al-Musanna dan lain-lain.

Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad bin Mahmud Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Aid bin Muhammad An-Nasfiyyun, Al-Haisam bin Kulaib Asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf An-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud Al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.

Abu Isa At-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti.

Para ulama besar memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibnu Hibban, kritikus hadits, menggolangkan Tirmidzi ke dalam kelompok “tsiqat” atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh hapalannya. "Tirmidzi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadits, menyusun kitab, menghapal hadits dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama," kata Ibnu Hibban.

Abu Ya’la Al-Khalili dalam kitabnya Ulumul Hadits menyatakan Muhammad bin Isa At-Tirmidzi adalah seorang penghapal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wa At-ta’dil. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain.

"Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Sahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya, keluasan hapalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadits yang sangat mendalam," papar Abu Ya'la.

Di samping dikenal sebagai ahli dan penghapal hadits yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, Imam Tirmidzi juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya.

Imam Tirmidzi banyak menulis kitab, di antaranya Kitab Al-Jami’ (terkenal dengan sebutan Sunan At-Tirmidzi), Kitab Al-‘Ilal, Kitab At-Tarikh, Kitab Asy-Syama’il An-Nabawiyyah, Kitab Az-Zuhd, dan Kitab Al-Asma’ wa Al-Kuna. Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’ (Sunan Tirmidzi).

Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolong salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmidzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmidzi.

Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar As-Sahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Sahih Tirmidzi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.

Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmidzi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. "Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan. Dan mereka semua meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara," ungkapnya.

Di dalam Al-Jami’-nya, Imam Tirmidzi tidak hanya meriwayatkan hadits sahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan, dhaif, gharib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.

Ia juga tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-hadits yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan semua hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits.

Ia pernah berkata, "Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan."

Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadits, yaitu: Pertama, yang artinya: "Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Zuhur dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab 'takut' dan 'dalam perjalanan'.

Kedua, "Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia." Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukkan demikian.

Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu Munzir.

Hadits-hadits dhaif dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fada’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi—meriwayatkan dan mengamalkan—hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits-hadits tentang halal dan haram.

Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, pada akhir kehidupannya Tirmidzi mendapat musibah kebutaan. Beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra, dan dalam keadaan seperti inilah akhirnya Tirmidzi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.


View the original article here

Wednesday, August 17, 2011

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Pengepungan Ta'if

REPUBLIKA.CO.ID, Kaum Muslimin merasa gembira sekali akan karunia yang telah diberikan Tuhan itu. Mereka tinggal menunggu pembagian rampasan perang dan dengan itu mereka kembali pulang. Akan tetapi Rasulullah menginginkan suatu kemenangan yang lebih cemerlang lagi.

Jika Malik bin Auf yang telah mengerahkan orang-orang, kemudian setelah mengalami kekalahan mencari perlindungan pada pihak Tsaqif di Ta'if, maka pihak Muslimin dapat mengepung Ta'if lebih ketat lagi. Begitulah cara menghadapi Khaibar setelah Perang Uhud, dan terhadap Quraizah setelah Khandaq. 

Mungkin suasana ini mengingatkan Rasulullah ketika beberapa tahun sebelum Hijrah, beliau pergi ke Ta'if, mendakwahkan Islam kepada penduduk kota itu. Tetapi beliau malah dicemooh, dan anak-anak melemparinya dengan batu.

Sehingga beliau terpaksa berlindung di sebuah kebun anggur. Kini Rasulullah berangkat menuju Ta'if dengan  sebuah rombongan Muslimin, dengan jumlah yang belum pernah disaksikan sepanjang sejarah jazirah itu.
Rasulullah memerintahkan pasukan Muslimin mengepung Tsaqif yang dipimpin oleh Malik bin Auf. Ta'if adalah sebuah kota yang sangat kokoh, tertutup rapat oleh pintu-pintu gerbang seperti kebanyakan kota-kota negeri Arab ketika itu. Penduduk kota ini sudah punya pengetahuan dalam soal kepung-mengepung dalam peperangan dan mempunyai kekayaan yang cukup besar pula untuk membuat perbentengan yang kuat. 

Ketika kaum Muslimin telah sampai di Ta'if, Nabi memerintahkan pasukannya berhenti dan bermarkas di dekat kota itu. Sahabat-sahabat dikumpulkan untuk diajak berunding tentang apa yang akan harus dilakukan.

Namun begitu pihak Tsaqif melihat kaum Muslimin dari atas perbentengan, mereka menghujankan serangan panah. Sehingga tidak sedikit pihak Muslimin yang terbunuh. Dan tidak pula mudah bagi Muslimin untuk menyerbu benteng-benteng yang sangat kokoh itu.

Rasulullah SAW memerintahkan agar markas dipindahkan jauh dari sasaran panah, ke sebuah tempat—yang kemudian setelah Ta'if menyerah dan menerima Islam—dibangunnya masjid Ta'if. Anak panah Tsaqif telah menewaskan 18 orang Islam, dan tidak sedikit pula yang telah mendapat luka-luka, di antaranya salah seorang anak Abu Bakar. 

Disamping tempat itu, dipasang pula dua buah kemah dari kulit berwarna merah untuk tempat tinggal kedua istri Nabi—Ummu Salamah dan Zainab—yang sejak beliau meninggalkan Madinah, ikut bersama-sama dalam perjalanan menghadapi   peristiwa-peristiwa itu. Di antara kedua kemah inilah Rasulullah melakukan shalat.

Setelah pengepungan selama sebulan penuh tanpa hasil, akhirnya Rasulullah memutuskan pengepungan dihentikan. Ketika itu bulan Dzulhijjah, Rasulullah dan pasukannya kembali hendak melakukan umrah.

Selanjutnya Rasulullah pun berangkat dari Ji'ranah menuju Makkah, hendak  menunaikan umrah. Selesai melakukan umrah, beliau menunjuk Attab bin Asid sebagai tenaga pengajar untuk Makkah dengan didampingi oleh Mu'adz bin Jabal untuk mengajar orang-orang memperdalam agama dan mengajarkan Alquran.

Rasulullah SAW kembali pulang ke Madinah bersama orang-orang Anshar dan Muhajirin. Sementara itu, lahir pula anaknya yang diberinama Ibrahim. Dan selama beberapa waktu itu, setelah sedikit merasakan ketenangan hidup, beliau pun harus bersiap-siap pula menghadapi Perang Tabuk di Syam.


View the original article here

Kisah Sahabat Nabi: Miqdad bin Amr, Mujahid Ulung dan Ahli Filsafat

REPUBLIKA.CO.ID, Di masa jahiliyah ia terikat janji dengan Aswad Abdu Yaghuts untuk diangkat sebagai anak hingga namanya berubah menjadi Miqdad bin Aswad. Tetapi setelah turunnya ayat mulia yang melarang merangkaikan nama anak dengan nama ayah angkatnya dan mengharuskan merangkaikannya dengan nama ayah kandungnya, maka namanya kembali dihubungkan dengan nama ayahnya, yaitu Amr bin Sa'ad.

Miqdad bin Amr termasuk golongan yang pertama kali masuk Islam. Ia adalah orang ketujuh yang menyatakan keislaman secara terang-terangan dan rela menanggung penderitaan dan siksaan, serta kekejaman kaum Quraisy. Keberanian dan perjuangannya di medan Perang Badar akan selalu diingat oleh kaum Muslimin sampai saat ini.

Bahkan Abdullah bin Mas’ud, seorang sahabat Rasulullah pernah berkata, "Saya telah menyaksikan perjuangan Miqdad, sehingga saya lebih suka menjadi sahabatnya daripada segala isi bumi ini."

Miqdad bin Amr pernah tampil berbicara mengobarkan semangat di tengah ketakutan dan kegalauan kaum Muslimin dalam peperangan Badar karena kekuatan musuh yang begitu dahsyat. Miqdad berkata, "Wahai Rasulullah, teruslah laksanakan apa yang dititahkan Allah, dan kami akan bersama anda. Demi Allah, kami tidak akan berkata seperti apa yang dikatakan Bani Israil kepada Nabi Musa, 'Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah', sedang kami akan mengatakan kepada anda, 'Pergilah Engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah, dan kami ikut berjuang di sampingmu'. Demi yang telah mengutus engkau membawa kebenaran! Seandainya engkau membawa kami melalui lautan lumpur, kami akan berjuang bersamamu dengan tabah hingga mencapai tujuan."

Kata-katanya mengalir laksana anak panah yang lepas dari busurnya. Hingga merasuk ke dalam hati orang-orang Mukmin. Dan wajah Rasulullah pun berseri-seri sementara mulutnya mengucapkan doa yang terbaik untuk Miqdad.

Dari ucapan yang dilontarkan Miqdad tadi, tidak saja menggambarkan keperwiraannya semata, tetapi juga melukiskan logikanya yang tepat dan pemikirannya yang dalam. Itulah sifat Miqdad. Ia seorang filsuf dan pemikir. Hikmah dan filsafatnya tidak saja terkesan pada ucapan semata, tapi terutama pada prinsip-prinsip hidup yang kukuh dan perjalanan hidup yang teguh, tulus, dan lurus.

Pasukan Islam pun menjadi bersemangat mengikuti semangat Miqdad. Bahkan cara bicara Miqdad patut dicontoh oleh yang lain. Kata-kata Miqdad benar-benar berdampak positif kepada segenap pasukan Islam.

Sa’ad bin Muadz, pemuka kaum Anshar berkata, "Ya Rasulullah, sungguh, kami telah beriman kepadamu, membenarkanmu, dan kami telah saksikan bahwa apa yang engkau bawa adalah benar. Kami juga sudah bersumpah setia kepadamu. Karena itu, majulah wahai utusan Allah, kami akan bersamamu. Demi yang telah mengutusmu membawa kebenaran, seandainya engkau membawa kami ke lautan, lalu engkau mengarungi lautan itu, tentu kami juga akan mengarunginya. Tidak seorang pun akan berpaling. Kami akan bersamamu berperang melawan musuh. Kami adalah orang-orang yang gagah berani dalam peperangan, tidak gentar menghadapi musuh. Allah akan memperlihatkan kepadamu kiprah kami dalam peperangan yang akan berkenan di hatimu. Karena itu, maju terus, kami akan bersamamu. Berkah Allah akan bersama kita."

Rasulullah sangat senang. Beliau bersabda kepada para pengikutnya, "Berangkatlah dan bergembiralah!"

Dan kedua pasukan pun berhadapan. Jumlah anggota pasukan Islam yang berkuda ketika itu tidak lebih dari tiga orang, yaitu Miqdad bin Amr, Martsad bin Abi Martsad, dan Zubair bin Awwam; sementara yang lain berjalan kaki atau menunggang unta.

Ia pernah diangkat oleh Rasulullah sebagai Gubernur di suatu wilayah. Tatkala ia kembali dari tugasnya, Nabi bertanya, "Bagaimana dengan jabatanmu?"

Ia menjawab dengan jujur, “Engkau telah menjadikanku menganggap diri ini di atas rakyat sedang mereka di bawahku. Demi yang telah mengutusmu membawa kebenaran, mulai saat ini saya tidak akan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang."

Ia menjadi gubernur, lalu dirinya dikuasai kemegahan dan pujian. Kelemahan ini disadarinya hingga ia bersumpah akan menghindarinya dan menolak untuk menjadi gubernur lagi setelah pengalaman pahit itu. Dan ia menepati janjinya itu. Sejak saat itu, ia tak pernah menerima jabatan pemimpin.

Ia sering mengucapkan sabda Nabi SAW yang berbunyi, "Orang yang berbahagia ialah orang yang dijauhkan dari kehancuran."

Jika jabatan kepemimpinan dianggapnya suatu kemegahan yang menimbulkan atau hampir menimbulkan kehancuran bagi dirinya, maka syarat untuk mencapai kebahagiaan baginya ialah menjauhinya.

Di antara sikap bijaknya adalah kehati-hatiannya dalam menilai orang. Sikap ini juga ia pelajari dari Rasulullah SAW yang telah menyampaikan kepada umatnya, "Berubahnya hati manusia lebih cepat dari periuk yang sedang mendidih."

Miqdad sering menangguhkan penilaian terakhir terhadap seseorang sampai dekat saat kematian mereka. Tujuannya ialah agar orang yang akan dinilainya tidak mengalami hal baru lagi. Adakah perubahan setelah kematian?

Dari percakapannya dengan seorang sahabat dan seorang tabi'in berikut ini, menunjukkan kemahirannya dalam berfilsafat dan ia berhak menyandang gelar seorang filsuf:

Pada suatu hari kami pergi duduk-duduk dekat Miqdad. Tiba-tiba lewat seorang laki-laki, dan berkata kepada Miqdad, "Sungguh berbahagialah kedua mata ini yang telah melihat Rasulullah! Demi Allah, andainya aku bisa melihat apa yang engkau lihat, dan menyaksikan apa yang engkau saksikan."

Miqdad berkata, "Apa yang mendorong kalian untuk menyaksikan peristiwa yang disembunyikan Allah dari penglihatan kalian, padahal kalian tidak tahu apa akibatnya bila sempat menyaksikannya? Demi Allah, bukankah pada masa Rasulullah banyak orang yang ditelungkupkan Allah mukanya di neraka Jahanam? Kenapa kalian tidak mengucapkan puji kepada Allah yang menghindarkan kalian dari malapetaka seperti yang menimpa mereka itu, dan menjadikan kalian sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Nabi kalian?"

Inilah suatu hikmah yang diungkapkan Miqdad, memang tidak seorang pun yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali ia dapat hidup di masa Rasulullah dan hidup bersamanya. Tetapi pandangan Miqdad tajam dan dalam, pemikirannya dapat menembus sesuatu yang tidak pernah dipikirkan oleh orang sedikit pun.


View the original article here