Kalau kamu sering nongkrong sama anak-anak SMA, atau sekadar scroll TikTok dan Reels Instagram, pasti familiar dengan satu kata sakti: “Anjir!”. Entah itu habis kaget, ketawa, dikejutkan prank, atau bahkan cuma gara-gara liat kucing jatuh dari motor, reaksi spontan yang keluar dari mulut mereka adalah: "Anjir!"
Kata ini kayak udah jadi bumbu wajib dalam percakapan sehari-hari remaja zaman now. Masalahnya, banyak dari mereka bahkan nggak tahu asal-usul atau arti sebenarnya dari kata itu. Anjir, turunan dari kata “anjing”, dulunya adalah umpatan. Bahkan sampai sekarang pun tetap dianggap kasar dalam kultur kita yang (katanya) menjunjung tinggi tata krama dan kesantunan.
Dari Umpatan Jadi Ekspresi Populer
Entah sejak kapan kata “anjir” mengalami evolusi makna. Yang dulunya umpatan penuh emosi, sekarang berubah jadi kata serba guna. Bisa untuk ketawa, kagum, kaget, kesel, sampai nangis pun kadang diajak-ajak si “anjir” ini.
Tapi, perubahan makna bukan berarti membenarkan semua penggunaan, bukan? Ini bukan soal linguistik semata, tapi soal kebiasaan lidah yang bisa jadi dosa sosial dalam jangka panjang.
Bahasa Mencerminkan Jiwa
Kebiasaan ngomong kasar — meskipun terkesan ringan dan nggak bermaksud jahat — bisa membentuk karakter. Sekali, dua kali, mungkin cuma ikut-ikutan. Tapi lama-lama jadi kebiasaan, dan kalau sudah kebiasaan, jadi identitas.
Bayangkan, generasi masa depan bangsa yang tiap kalimatnya selalu diawali dengan kata kasar. Mau jadi apa bangsa ini kalau lidahnya saja sudah kebas sopan santun?
Normalisasi Kata Kasar Itu Berbahaya
Ketika kata kasar dinormalisasi, bukan cuma bahasanya yang bergeser, tapi juga standar moralnya. Dulu kalau anak ngomong “anjir” di depan orang tua bisa langsung disuruh cuci mulut pakai sabun. Sekarang? Paling dikira lucu, atau malah dibalas dengan kata serupa.
Ini bukan sekadar soal kata, tapi soal nilai. Kalau bahasa saja bisa dilanggar atas nama “biar gaul”, jangan heran kalau norma-norma lain juga gampang dianggap remeh.
Jangan Latah, Remaja Harus Punya Sikap
Ini saatnya remaja — dan orang tua juga — lebih kritis terhadap kebiasaan verbal. Ngomong santun bukan berarti kuno. Menjaga mulut bukan berarti kaku. Justru di era digital seperti sekarang, di mana kata-kata bisa viral dan abadi di internet, kita harus lebih hati-hati bicara.
Kata-kata menciptakan budaya. Kalau yang kita sebar adalah bahasa kasar, jangan salahkan kalau budaya kita nanti makin jauh dari akhlak mulia.
---
Penutup:
Anak muda itu keren kalau bisa beda dari yang lain, bukan ikut-ikutan tren yang menyesatkan. Kalau orang lain latah bilang “anjir”, kamu bisa pilih kata lain yang lebih berkelas. Misalnya: “MasyaAllah”, “ya ampun”, atau cukup diam tapi elegan.
Karena sesungguhnya, diam itu lebih bijak… daripada teriak “anjir” sambil ngakak.
No comments:
Post a Comment