Thursday, August 25, 2011

Wong London ning Jakarta

Cerita ini saya tulis untuk melengkapi tulisan berjudul “wong buntet pesantren ning London”. Rangkaian tulisan unik dari Kang Ghozi, salah satu keluarga Buntet Pesantren yang menetap lama di London.
Adalah Bayu Mujahid, anak kedua Kang Ghozi yang lahir di London ini, sejak 2 Juni kemarin datang Ke Jakarta untuk berlibur selama kurang lebih dua minggu bersama kawan akrabnya, Indra Aditia Putra Santoso  yang ternyata adalah cucu dari Ibu Hj. Mira (82 th)
Pagi-pagi (3/6)  Pak. H. Dhabas menelpon saya dari kantornya di Kostrad, Tanah Kusir, mengajak saya untuk bersilaturahmi ke rumah Ibu. Mira Chasbullah karena katanya di rumahnya itu ada dua remaja yang datang langsung dari London. Satu adalah cucunya sendiri dan yang kedua tidak lain adalah Bayu. Saat berkenalan dengan Ibu Mira, Bayu mengaku kalau ayahya itu berasal dari Buntet Pesantren, Cirebon.
Begitu mendengar pengakuan Bayu, kalau ayahnya dari Buntet, malam itu juga langsung menelpon Pak Dhabas agar pagi-pagi datang ke rumahnya dan mempertemukannya.
Benar saja saat kami datang pagi itu, Nenek sepuh ini menunjukkan rasa senangnya kepada Pak Dhabas dan kepada Bayu karena ternyata Bayu adalah putra dari orang Buntet Pesantren yang juga masih ada hubungan famili dengan Pak Dhabas.
Karenaanya, begitu kami datang, Ibu Mira langsung menyambut kami berdua dan langsung memanggil cucunya dan Bayu. . Pertama kali yang muncul adalah Bayu. Ia menyalami pak Dhabas dan merangkulnya, sebuah salam keakraban. Sementara Cucu Ibu Mira, yang masih seusia Bayu ini pun datang menyambut kami lalu menyalami kami dengan cara lain. Ia menyodorkan dua tanganya, kepalanya direndahkan, selanjutnya kedua tangan itu bersamaan ditempelkan ke dada sekitar satu detik sambil kepalanya memanggut. Cara salaman cukup menggambarkan rasa hormat kepada tamu.
Kegembiraan Ibu Mira ini bukan tanpa alasan. Sebab keakraban keluarga besar H. Chasbullah dengan Pak Dhabas sudah terjalin puluhan tahun yang lalu. Saat pertama kali kang Dhabas menjadi pengurus masjid istiqomah dan membina masyarakat Kav blok A Tanah kusir. Di dalam masjid komplek inilah banyak warga tanah kusir yang kebanyakan adalah pejabat dan pengusaha itu menuntut ilmu agama dengan baik sehingga alhamdulillah banyak yang memiliki integritas dan gairah terhadap praktek-praktek keagamaan.
Dalam sesi obrolannya, kepada dua anak dari London ini, Ibu Mira langsung memperkenalkan Pak Dhabas sebagai gurunya sejak awal mula belajar agama sekitar tahun 1984 hingga sekarang. “Saya alhamdulillah selama satu bulan waktu itu, sudah lancar membaca al quran, saya menangis saat mencoba di tes membaca surat Yasin dan ternyata sudah lancar...” Tutur nenek yang kini rajin membaca al quran tanpa kacamata ini.
Ibu Mira juga menceritakan betapa sayangnya kepada cucunya yang di London ini. Ia sudah 15 kali ke London menemui anaknya, Bapak Iwan yang bekerja di KBRI sana dan tentu saja menemui cucu-cucunya.
“Pak Dhabas, kalau saya ke London menemui anakku tidak lupa bawa al quran dan sengaja membacakan al quran di hadapan mereka. Sebab mereka harus tahu, kalau praktek keagamaan itu di manapun jangan ditinggalkan.” Kisahnya kepada pak Dhabas.
Nenek pengusaha properti ini pun berkali-kali menasehati cucunya ini agar jangan meninggalkan shalat dalam keadaan dingin sekalipun. "Cucu saya yang lain ada yang pernah bertanya bagaimana kalau cuaca dingin, jika berwudu rasanya dingin banget. Maka saya jawab, dingin itu bila di lawan maka pahalanya double. Alhamdulillah, cucuku yang ada di sana kini rajin sekali shalatnya." Katanya.

Salah satu agenda Bayu ke Jakarta seperti ia tuturkan bahwa kedatanganya itu dalam rangka ikut menghadiri perkawinan temanya yang sangat akrab. “Saya sedang libur dan ikut teman saya yang rencananya akan menghadiri perkawinan teman akrab kami”, tutur Bayu dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar. Berbeda dengan temanya yang masih suka mengucapkan “emmm” saat ingin mengucapkan kata-kata bahasa Indonesia. (Emka)

Ibu Mira Pebisnis yang Bersuamikan Orang Shaleh
Kalau mau digali cerita unik dari keluarga Ibu Mira ini sangat banyak. Kesadaran beragama ibu Mira justru baru muncul saat umurnya menginjak 55 tahun sementara suaminya, H. Kabul Chasbullah asal Tegal, Jawa Tengah, justru orang yang sangat istiqomah melaksanakan shalat malam (tahajud) sejak SMP kelas II.
Pernah suatu ketika, kata Ibu Mira,  saya tanya suami, kenapa sih melaksanakan shalat malam dari SMP sampai sekarang, lalu dia bercanda menjawab.. itu kan buat mendapatkan mami, jawabnya. Begitulah keakraban antara suami isteri ini hingga kakek- nenek. Sebuah potret keluarga yang tampak sekali kesejahteraanya dan kebahagiaanya.
Gambaran sebagai pengusaha saat pagi diantar supir ke kantor dan malam hari tetap tekun berdzikir merupakan hal yang sangat jarang ditemui. Seperti dituturkan Pak Dhabas, Pak Kabul Chasbullah, suami Ibu Mira ini, orang yang tekun dan istiqomah berdzikir saat malam hari. Ini merupakan hal yang jarang ditemui, bahkan di kalangan lulusan pesantren sekalipun.
"Saya memiliki suami yang penyabar sekali, tak pernah suamiku ini marah lalu memanggilku dengan kata-kata "kamu" tetapi selalu dengan kata-kata 'mami" dan senantiasa saya itu dimanja olehnya." Tutur Ibu mira mengenang mendiang suaminya yang telah meninggal beberapa tahun lalu.

Janda beranak banyak ini terbilang sukses karena memiliki bisnis pengembangan rumah mewah yang ditujukan kepada orang-orang asing. Satu rumah dibangun, kemudian dikontrakan kepada orang asing. Setelah laku, ia beli tanah lagi, dibangun yg baru dan dkontrakkan lagi, begitu seterusnya, hingga rumahnya di mana-mana. Sebuah bisnis yang simple bagi seorang ibu rumah tangga, namun sangat menguntungkan karena harganya dibandrol dengan standar rumah asing. Sementara suaminya yang taat agama itu, adalah pegawai di Perusahaan Unilever Indonesia.
Awal mula kesadaran beragama Ibu Mira ini lahir dari saat pergi haji pertama kali bersama anaknya yang sekarang tinggal di London. Ada yang hal lucu saat ke Makkah, ia bersama romobonganya saat memasuki penginapan, Ibu Mira ini menjejer baju-baju pesta untuk diletakkan digantungan. Kontan semua orang kaget kenapa yang dibawa baju pesta. "Saya pikir berhaji itu seperti jalan-jalan ke luar negeri, ya saya bawa ini." Jawabnya dengan polos.
Ia mengaku, maklum selam ini ia sering jalan-jalan ke Luar Negeri, namun belum pernah haji. Karenanya, saat teman arisannya di komplek itu menyinggung sedikit tentang kesadaran beragama Ibu Mira ini, langsung saja ia menyanggupi untuk pergi Haji. Untunglah, saat itu arisan dolar yang ia ikuti dapat $3000 dan sisanya oleh anaknya  (Ayah Adit) ditanggung sehingga bisa pergi haji sekeluarga.
Begitu khabar niat haji disampaikan kepada suaminya, Pak Chasbullah langsung berucap "Alhamdulillah" merasa bahagia karena isterinya telah akan "berhijarah" begitu juga anaknya yang lain ikut merasakan kegembiraan menyambut niat baik ibunya ini.
Dari Mekkah inilah kemudian, beliau sangat terkesan dan ingin bisa membaca Al-quran. Karenanya begitu sampai di Tanah Kusir ia langsung mendatangi pak Dhabas untuk belajar Al-Quran, lalu dibimbing intensif hingga akhirnya lancar membaca al-quran ala pesantren (fasikh) selama tiga bulan.Untuk memperlancarnya, ia senantiasa membaca al-quran dengan diawasi oleh suaminya dan juga oleh gurunya.

Muallim Syafi'i Hazami
Salah satu gurunya yang tidak disangka-sangka adalah Muallim Syafi'i Hadzami. Beliau adalah ulama Betawi yang menjadi rujukan para kyai di Jakarta hingga saat ini. Majelis ta'limnya tak terhitung banyaknya. Namun sewaktu Muallim masih hidup, seringkali mampir ke rumah keluarga  ini. Sebaliknya, Ibu Mira dan suaminya bersama satu anak laki-lakinya, Bapak Edi, ikut mengaji ke rumah Muallim untuk dengan suguhan kitab-kitab kuning.
Suatu ketika, mata Ibu Mira terserang  sakit mata yang cukup kronis. Padahal ia tengah gemar sekali belajar al quran dan tentu saja jika matanya menjadi lamur itu, tidak lagi  bisa membaca quran dengan lancar. Parahnya,  oleh dokter divonis harus menjalani operasi katarak.
Karena tidak ingin dioperasi sehubungna pernah operasi besar di matanya, lalu Ibu Mira meminta doa kepada Muallim Syafi'i Hadzami agar diakuatkan. Kemudian beliau dikasih amalan doa yang masih dia ingat dan ibu ini faseh mengucapkan doa ini:  "Ya Latiif ya khobirr ultuf bina fimaa jarot bihil maqodiir, wadabbirna biahsanitadbirrr fii khoirin wa'aafiyatin". Ibu Mira mengucapkan kata-kata itu dengan bahasa arab yang lancar. Menurut pengakuannya, doa ini memberikan efek ketenangan dalam kehidupaannya. Dan hingga kini, mata Ibu Mira masih awas meski umurnya mencapai 70 tahun lebih.
Begitulah sekilas cerita sosok wanita mandiri ini saya tulis.Tidak lain merupakan pembelajaran bagi kita semua, bahwa jika Allah menghendaki perubahan ke arah yang lebih baik, dengan mudahnya. Buah istiqomah, keteguhan dan kesabaran memang sebuah kekuatan yang tidak ada tandingannya. Pantas jika para ulama berkata: Al Istiqomah khoirum min alfi karomah, istiqomah itu lebih ampuh ketimbang karomah.Wallahu a'lam. (Emka)

2 komentar

ada shout box nya gak blog ini? Untuk memudahkan pengunjung berinteraksi dengan pemilik blog :)

ane dapat dari btemplates com gan

langsung comment aja gan di bawah please...


EmoticonEmoticon